Oleh Aprinus Salam
Terdapat
sejumlah kecenderungan bahwa dunia sastra modern Indonesia tidak berpretensi
untuk membangun dunia model. Ada dua sebab mengapa hal itu terjadi. Pertama,
dunia sastra Indonesia, khususnya novel, terlalu dekat dengan kenyataan. Dan
kedua, dunia sastra Indonesia justru terlalu jauh dari kenyataan.
Dalam
hal ini yang dimaksud dengan dunia model adalah sebuah cerita yang dapat
dijadikan model kehidupan (Bdk. Lotman, 1977). Berdasarkan dunia model itu orang
yang membaca sastra mendapatkan banyak pelajaran tentang nilai-nilai luhur,
moral yang mulia, proses dan cara-cara membangun kehidupan agar menjadi lebih
canggih, dan di atas semua itu,
pelajaran membangun pribadi yang tangguh. Sastra sebagai dunia model adalah
bagian dari strategi kebudayaan.
Di
sini hanya dibicarakan beberapa novel saja. Novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan
gagal membangun model karena terjebak dalam kebimbangan antara pilihan
terhadap kultur dan kepribadian (karakter) Barat atau Timur. Siti Nurbaya
walaupun dapat sedikit dijadikan model sebagai resistensi atas hegemoni
patriarki, tetapi ia sangat tidak percaya diri dan akhirnya kalah berhadapan
dengan kulturnya. Hanafi dalam Salah
asuhan, walaupun terlihat seorang yang ulet dalam membangun karakter
progresif, tetapi begitu menghamba kepada Corie. Di akhir hayatnya menyesali
hidupnya.
Dalam
novel Layar Terkembang, ada upaya
untuk membangun dunia model seperti diperankan oleh Tuti. Tuti yang berpikiran
progresif, mengisi waktunya dengan kesibukan berorganisasi, berpikir ke depan,
dan cerdas, adalah satu model yang didambakan. Harapan dari novel ini adalah
agar wacana tentang wanita yang moderat dapat disosialisasikan sehingga model
Siti Nurbaya, segera dapat ditinggalkan. Masalahnya adalah bukan berarti Tuti
lantas layak dijadikan model. Karakternya dan jalan hidupnya dianggap kering
dan dingin. Ia tampil bak wanita
super dan dalam beberapa hal kurang realistis.
Novel
yang terbit secara “ilegal” pun, katakanlah Student
Hijo, ternyata juga tidak sukses. Walau Hijo cerdas dan nasionalis (tetapi
dalam kehidupan sehari-harinya seorang pemuda yang liberal), tetapi prilakunya
yang seolah tidak punya pendirian, “manja”, tidak tegas, dan tidak setia,
berimplikasi pada satu model karakter yang permisif, aji mumpung, sehingga
novel itu kembali menjebak pembaca untuk tidak mengagungkan Hijo. Ideologi
novel (dan Hijo) yang agak dekat dengan sosialisme juga terkesan artifisial
karena penghargaan-penghargaan terhadap status kemanusiaan yang hierarkis masih
cukup menonjol dalam novel tersebut.
Misal
lain beberapa novel yang terbit pada masa Orde Baru. Dalam perspektif teori
poskolonial, kedirian, keberadaan, dan karakter Minke dalam Bumi Manusia memang merupakan pesoalan
menarik, terutama ketika dia sepenuhnya mendapat didikan Barat (Belanda). Akan
tetapi, hal itu tidak menjadi persoalan dihadapkan dengan karakter yang
dibangunnya, keteguhan dan kesetiaan pada hati nurani, rasionalitas dalam
melihat persoalan tradisi dan budaya, serta upaya-upaya kerja keras dalam
bekerja, dalam merealisasikan cita-cita.
Minke
merupakan karakter contoh yang cukup menjanjikan yang dapat dijadikan model
dalam membangun kebudayaan. Terlepas dari sikap sinisnya terhadap tradisi dan
budayanya sendiri, tetapi argumen-argemen yang dibangun Minke merupakan pilihan
yang rasional berhadapan dengan budaya yang menindas, budaya yang hanya
mengekalkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak lagi kondusif dengan perubahan
zaman.
Namun,
selayaknya pula Bumi Manusia
ditempatkan dalam porsi yang proporsional dalam kerangka strategi kebudayaan
dan model kehidupan. Fanatisme ideologis terhadap satu aliran pemikiran
tertentu, sayangnya, tidak dapat dijadikan pegangan utama dalam membimbing
tujuan ke masa depan yang serba tidak pasti. Proses perjalanan suatu bangsa
tidak dapat hanya berdasarkan sebuah pedoman ideologis, tat kala ideologi
tersebut juga belum mampu memperlihatkan contoh sukses sebuah negara
berdasarkan ideologi tersebut. Apa lagi jika persoalan itu ditempatkan dalam
kerangka permasalahan di Indonesia, sebuah masyarakat yang sangat majemuk.
Dinamika-dinamika internal masyarakat Indonesia lebih membutuhkan sebuah “kisah
sukses” daripada sebuah pegangan ideologis.
Lain
lagi dengan Sastrodarsono dalam Para
Priyayi. Hidup prihatin dan sederhana, asketis, dan menjungjung tinggi rasa
kemajuan, menjunjung tinggi kesetiaan terhadap budaya dan negara (pada waktu
itu), mengabdi teguh terhadap pekerjaan sebagai guru, adalah model karakter
lain yang mengharuskan untuk diwariskan kepada anak cucu. Terbukti, sebagai
orang tua Sastrodarsono berhasil mendidik anaknya, setidaknya terjadi progresi
yang cukup penting ketika anaknya beralih status dari wong cilik menjadi priyayi.
Namun,
jika melihat keseluruhan cerita, yang masih terasa mengganjal adalah bahwa novel
ini terlalu dekat dengan kenyataan, atau dalam bahasa sekarang “realis banget.” Sebagai akibatnya, novel tidak
coba menegakkan satu karakter alternatif yang membanggakan dan memuaskan
berbagai pihak. Lantip yang “kompromis” juga terkesan kurang tangguh.
Memang,
perlu pula diingat bahwa menulis novel pada zaman Orde Baru berkuasa, kemampuan
memberikan alternatif strategi budaya yang harus berhadapan dengan strategi
budaya negara bukanlah persoalan mudah. Salah-salah strategi justru bisa
dituduh subversif. Cara-cara aman yang ditempuh sebagian novel, misalnya “lari”
kepada absurditas, seperti diperlihatkan sejumlah novel Putu Wijaya dan Iwan
Simatupang, menjadikan novel sesuatu yang tidak terintegrasi dalam frame masyarakat. Cerita novel menjadi
terlalu jauh dari kenyataan.
Dalam
cara yang terlalu berhati-hati, karena berdiri di antara “kekhawatiran” dan
sikap resistensi diperlihatkan novel Canting
karya Atmowiloto dan Trilogi Dukuh Paruk, seperti Ronggeng Dukuh Paruk, Jantera
Bianglala, dan Lintang Kemukus Dini
Hari ataupun Bekisar Merah karya
Ahmad Tohari. Pak Bei dalam Canting,
atau Rasus dalam Trilogi Dukuh Paruk, dan Kanjat dalam Bekisar Merah adalah contoh karakter dalam kegagapan tersebut.
Novel
Indonesia mutakhir, khususnya di era reformasi memang sangat beragam.
Tokoh-tokoh dikarakterisasikan sebagai orang berjuang secara heroik berkaitan
upaya-upaya pembersihan terhadap segala sesuatu yang berbau Orde Baru, tak
pelak telah menjadi salah satu inspirasi penting. Novel-novel seperti Mantra Pejinak Ular (2000) Orang-Orang Proyek (2004), merupakan dua contoh di antaranya.
Mungkin
yang cukup menonjol adalah karakter Abu Kasan Sapari dalam Mantra Pejinak Ular. Novel tersebut mengisahkan satu model heroisme
(dan patriotisme) yang berjuang menegakkan kebenaran berdasarkan hati nurani.
Dengan jujur dan bersih ia melihat berbagai persoalan, dengan segala rasa
cemasnya, sempat diteror dalam berbagai cara oleh “orang-orang yang berkuasa”,
tetapi ia memilih tatap menjadi orang biasa, menjadi Abu Kasan Sapari yang
sederhana, yang pintar mendalang dan memantrai ular.
Tidak
banyak orang seperti Abu Kasan Sapari. Walaupun di akhir cerita ia contoh orang
kalah berhadapan dengan kekuatan rezim, tetapi kenangan terhadap karakter Abu
Kasan Sapari memang tidak mudah hilang begitu saja. * * *
Aprinus Salam,
dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar