Minggu, 22 April 2012

SASTRA SEBAGAI DUNIA MODEL


Oleh Aprinus Salam

Terdapat sejumlah kecenderungan bahwa dunia sastra modern Indonesia tidak berpretensi untuk membangun dunia model. Ada dua sebab mengapa hal itu terjadi. Pertama, dunia sastra Indonesia, khususnya novel, terlalu dekat dengan kenyataan. Dan kedua, dunia sastra Indonesia justru terlalu jauh dari kenyataan.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan dunia model adalah sebuah cerita yang dapat dijadikan model kehidupan (Bdk. Lotman, 1977). Berdasarkan dunia model itu orang yang membaca sastra mendapatkan banyak pelajaran tentang nilai-nilai luhur, moral yang mulia, proses dan cara-cara membangun kehidupan agar menjadi lebih canggih,  dan di atas semua itu, pelajaran membangun pribadi yang tangguh. Sastra sebagai dunia model adalah bagian dari strategi kebudayaan.
Di sini hanya dibicarakan beberapa novel saja. Novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan gagal membangun model karena terjebak dalam kebimbangan antara pilihan terhadap kultur dan kepribadian (karakter) Barat atau Timur. Siti Nurbaya walaupun dapat sedikit dijadikan model sebagai resistensi atas hegemoni patriarki, tetapi ia sangat tidak percaya diri dan akhirnya kalah berhadapan dengan kulturnya. Hanafi dalam Salah asuhan, walaupun terlihat seorang yang ulet dalam membangun karakter progresif, tetapi begitu menghamba kepada Corie. Di akhir hayatnya menyesali hidupnya.
Dalam novel Layar Terkembang, ada upaya untuk membangun dunia model seperti diperankan oleh Tuti. Tuti yang berpikiran progresif, mengisi waktunya dengan kesibukan berorganisasi, berpikir ke depan, dan cerdas, adalah satu model yang didambakan. Harapan dari novel ini adalah agar wacana tentang wanita yang moderat dapat disosialisasikan sehingga model Siti Nurbaya, segera dapat ditinggalkan. Masalahnya adalah bukan berarti Tuti lantas layak dijadikan model. Karakternya dan jalan hidupnya dianggap kering dan dingin. Ia tampil bak wanita super dan dalam beberapa hal kurang realistis.
Novel yang terbit secara “ilegal” pun, katakanlah Student Hijo, ternyata juga tidak sukses. Walau Hijo cerdas dan nasionalis (tetapi dalam kehidupan sehari-harinya seorang pemuda yang liberal), tetapi prilakunya yang seolah tidak punya pendirian, “manja”, tidak tegas, dan tidak setia, berimplikasi pada satu model karakter yang permisif, aji mumpung, sehingga novel itu kembali menjebak pembaca untuk tidak mengagungkan Hijo. Ideologi novel (dan Hijo) yang agak dekat dengan sosialisme juga terkesan artifisial karena penghargaan-penghargaan terhadap status kemanusiaan yang hierarkis masih cukup menonjol dalam novel tersebut.
Misal lain beberapa novel yang terbit pada masa Orde Baru. Dalam perspektif teori poskolonial, kedirian, keberadaan, dan karakter Minke dalam Bumi Manusia memang merupakan pesoalan menarik, terutama ketika dia sepenuhnya mendapat didikan Barat (Belanda). Akan tetapi, hal itu tidak menjadi persoalan dihadapkan dengan karakter yang dibangunnya, keteguhan dan kesetiaan pada hati nurani, rasionalitas dalam melihat persoalan tradisi dan budaya, serta upaya-upaya kerja keras dalam bekerja, dalam merealisasikan cita-cita.
Minke merupakan karakter contoh yang cukup menjanjikan yang dapat dijadikan model dalam membangun kebudayaan. Terlepas dari sikap sinisnya terhadap tradisi dan budayanya sendiri, tetapi argumen-argemen yang dibangun Minke merupakan pilihan yang rasional berhadapan dengan budaya yang menindas, budaya yang hanya mengekalkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak lagi kondusif dengan perubahan zaman.
Namun, selayaknya pula Bumi Manusia ditempatkan dalam porsi yang proporsional dalam kerangka strategi kebudayaan dan model kehidupan. Fanatisme ideologis terhadap satu aliran pemikiran tertentu, sayangnya, tidak dapat dijadikan pegangan utama dalam membimbing tujuan ke masa depan yang serba tidak pasti. Proses perjalanan suatu bangsa tidak dapat hanya berdasarkan sebuah pedoman ideologis, tat kala ideologi tersebut juga belum mampu memperlihatkan contoh sukses sebuah negara berdasarkan ideologi tersebut. Apa lagi jika persoalan itu ditempatkan dalam kerangka permasalahan di Indonesia, sebuah masyarakat yang sangat majemuk. Dinamika-dinamika internal masyarakat Indonesia lebih membutuhkan sebuah “kisah sukses” daripada sebuah pegangan ideologis.
Lain lagi dengan Sastrodarsono dalam Para Priyayi. Hidup prihatin dan sederhana, asketis, dan menjungjung tinggi rasa kemajuan, menjunjung tinggi kesetiaan terhadap budaya dan negara (pada waktu itu), mengabdi teguh terhadap pekerjaan sebagai guru, adalah model karakter lain yang mengharuskan untuk diwariskan kepada anak cucu. Terbukti, sebagai orang tua Sastrodarsono berhasil mendidik anaknya, setidaknya terjadi progresi yang cukup penting ketika anaknya beralih status dari wong cilik menjadi priyayi.
Namun, jika melihat keseluruhan cerita, yang masih terasa mengganjal adalah bahwa novel ini terlalu dekat dengan kenyataan, atau dalam bahasa sekarang “realis banget.” Sebagai akibatnya, novel tidak coba menegakkan satu karakter alternatif yang membanggakan dan memuaskan berbagai pihak. Lantip yang “kompromis” juga terkesan kurang tangguh.
Memang, perlu pula diingat bahwa menulis novel pada zaman Orde Baru berkuasa, kemampuan memberikan alternatif strategi budaya yang harus berhadapan dengan strategi budaya negara bukanlah persoalan mudah. Salah-salah strategi justru bisa dituduh subversif. Cara-cara aman yang ditempuh sebagian novel, misalnya “lari” kepada absurditas, seperti diperlihatkan sejumlah novel Putu Wijaya dan Iwan Simatupang, menjadikan novel sesuatu yang tidak terintegrasi dalam frame masyarakat. Cerita novel menjadi terlalu jauh dari kenyataan.
Dalam cara yang terlalu berhati-hati, karena berdiri di antara “kekhawatiran” dan sikap resistensi diperlihatkan novel Canting karya Atmowiloto dan Trilogi Dukuh Paruk, seperti Ronggeng Dukuh Paruk, Jantera Bianglala, dan Lintang Kemukus Dini Hari ataupun Bekisar Merah karya Ahmad Tohari. Pak Bei dalam Canting, atau Rasus dalam Trilogi Dukuh Paruk, dan Kanjat dalam Bekisar Merah adalah contoh karakter dalam kegagapan tersebut.
Novel Indonesia mutakhir, khususnya di era reformasi memang sangat beragam. Tokoh-tokoh dikarakterisasikan sebagai orang berjuang secara heroik berkaitan upaya-upaya pembersihan terhadap segala sesuatu yang berbau Orde Baru, tak pelak telah menjadi salah satu inspirasi penting. Novel-novel seperti Mantra Pejinak  Ular (2000) Orang-Orang Proyek (2004),  merupakan dua contoh di antaranya.
Mungkin yang cukup menonjol adalah karakter Abu Kasan Sapari dalam Mantra Pejinak Ular. Novel tersebut mengisahkan satu model heroisme (dan patriotisme) yang berjuang menegakkan kebenaran berdasarkan hati nurani. Dengan jujur dan bersih ia melihat berbagai persoalan, dengan segala rasa cemasnya, sempat diteror dalam berbagai cara oleh “orang-orang yang berkuasa”, tetapi ia memilih tatap menjadi orang biasa, menjadi Abu Kasan Sapari yang sederhana, yang pintar mendalang dan memantrai ular.
Tidak banyak orang seperti Abu Kasan Sapari. Walaupun di akhir cerita ia contoh orang kalah berhadapan dengan kekuatan rezim, tetapi kenangan terhadap karakter Abu Kasan Sapari memang tidak mudah hilang begitu saja. * * *

Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar