Mengkaji
posisi sosial perempuan dalam dominasi dan budaya patriarki selalu penting
karena hal tersebut masih merupakan masalah masyarakat Indonesia. Walaupun
sebagian masyarakat Indonesia semakin menyadari bahwa posisi sosial perempuan-laki-laki
itu seharusnya proporsional, tetapi dalam praktiknya jauh panggang dari api.
Hal itu antara lain dikarenakan masih kuatnya budaya patriarkis yang bercokol
dalam praktik-praktik kehidupan bermasyarakat. Kita tahu, mengubah tradisi atau
budaya itu bukan pekerjaan mudah, membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Dalam
rentang waktu yang lama, negara Indonesia dikuasai oleh rezim yang biasa
disebut rezim Orde Baru. Selama masa kekuasaannya, negara melakukan berbagai
proses legitimasi untuk menempatkan keberadaan perempuan sebagai atribut
laki-laki. Waktu itu, kegiatan seperti PKK adalah contoh paling representatif
ketika wanita tidak lebih sebagai bagian dari subjek dan aktivitas laki-laki.
Novel,
sebagai cermin dan representasi masyarakat, dalam segala cara “merekam”
persoalan posisi perempuan dalam masyarakat Indonesia. Pada tahun 1980-an,
novel-novel yang muncul kebanyakan dari penulis Jawa, dan novel juga bercerita
tentang masyarakat Jawa. Bangkitnya novel dengan nuansa warna lokal itu adalah
ketika rezim Orde Baru demikian gagah berkuasa. Sejumlah novel melakukan
kehati-hatian bahkan kompromi berhadapan dengan rezim Orde Baru dalam
menembapatkan posisi sosial perempuan.
* * *
Dalam
konteks itu, novel-novel Indonesia yang mengrepresentasikan masyarakat Jawa itu
menghadirkan keberadaan perempuan secara berbeda-beda, dengan tujuan dan
kepentingan yang berbeda. Paling tidak terdapat 6 kecenderungan penokohan
perempuan sebagai berikut.
Pertama, tokoh perempuan yang lemah (dalam pengertian sosial dan ekonomi),
hidup dalam situasi yang tidak kondusif, dan gagal mencapai posisi sosial
keperempuanannya. Contoh yang baik dalam kasus ini adalah Srintil dalam Trilogi
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Memang ada percobaan resistensi diam-diam
terhadap tradisi bukak klambu atau
pun terhadap peng-objek-an perempuan dalam hubungan seksual. Akan tetapi,
sebagai wanita, hingga di akhir cerita, Srintil gagal menjadi wanita dengan
kedudukan sosial yang baik, bahkan ia seperti hilang kesadaran (gila).
Kedua,
tokoh wanita yang lemah, tetapi terdapat situasi kondusif sehingga ia mencoba
berjuang mendapatkan posisi sosial keperempuannya agar lebih baik, walaupun
tidak berhasil. Contoh yang baik adalah Lasi dalam Bekisar Merah (Ahmad Tohari). Karena menjadi istri simpanan
Handarbeni, posisi ekonomi Lasi menguat. Akan tetapi, karena tidak mendapatkan
pendidikan yang memadai, dalam posisi ekonomi yang membaik itu, Lasi tetap
gagal mendapatkan posisi sosial yang layak. Bahkan ia terkatung-katung antara
sebagai simpanan Handarbeni dan harapan menjadi istri Kanjat yang dosen di
sebuah Perguruan Tinggi Negeri.
Ketiga, tokoh perempuan yang lemah secara sosial, dan dalam kondisi itu
berjuang untuk mendapatkan posisi sosial yang baik dan berhasil. Contohnya
adalah Siti Zaitun dalam Pasar karya
Kuntowijoyo. Keuntungan Zaitun adalah dia bekerja di sebuah bank di desa.
Sebagai orang yang (lebih) terdidik, masyarakat secara relatif menghargainya.
Dia bisa berdebat dengan Pak Mantri, seorang sesepuh desa yang cukup dihormati.
Walupun posisi sosial Zaitun jauh lebih baik dibanding Srintil atau Lasi,
tetapi Zaitun tidak cukup sukses beradaptasi dengan kultur desa tempat ia
bekerja di bank. Zaitun lebih cocok kerja di kota karena kota merupakan tempat
demokrasi gender lebih hidup.
Keempat, tokoh wanita yang kuat (dalam arti memiliki status sosial dan ekonomi
yang baik), tetapi ditempatkan dalam posisi sosial yang tidak kondusif bagi
posisi sosial keperempuanannya. Contoh yang menonjol adalah Bu Bei dalam Canting karya Arwendo Atmowiloto dan Siti
Ngaisah dalam Para Priyayi karya Umar
Kayam. Bu Bei ulet, cerdas, dan wanita yang berhasil secara ekonomi. Sayang dia
hidup dalam sebuah kultur (Jawa) yang perlu “takut” dan mengabdi kepada Suami
(Pak Bei) yang bangsawan. Hal itu juga dilatarbelakangi bahwa bagaimanapun Bu
Bei pada awalnya adalah wong cilik
yang dinikahi oleh Pak Bei yang bangsawan.
Dalam
konteks yang lebih lembut, hal yang lebih kurang sama terjadi pada Siti
Ngaisah. Walaupun Siti Ngaisah dan Sastrodarsono dari status sosial yang lebih
kurang sama, Siti Ngaisah dengan kecerdasan dan kecekatannya, hidup dalam
tradisi-kulturnya selalu saja sebagai wanita yang ikut suami.
Kelima, tokoh perempuan yang kuat,
berjuang untuk mendapatkan posisi sosial yang baik dan berhasil. Contoh yang
paling representatif adalah putri-putri Bu Bei dan Pak Bei dalam Canting. Ni adalah contoh yang menonjol.
Yang menguntungkan Ni adalah dia lahir sebagai anak priyayi dengan kelas
ekonomi yang baik. Ni sekolah hingga sarjana. Dalam berhadapan dengan kultur
patriarki, Ni tanpa beban psikologis yang berarti sejajar dengan laki-laki
(calon suaminya). Hal itu sekaligus memberi informasi bahwa wanita bisa
mendapatkan posisi sosial yang baik mungkin karena keturunan, pendidikan, atau
kelas ekonomi.
Keenam, tokoh perempuan yang tidak memiliki masalah dalam posisi sosialnya
dalam dominasi budaya patriarki yang masih dominan. Hal itu terjadi dikarenakan
mereka hidup sebagai masyarakat kelas menengah (atas), perkotaan, dan terdidik.
Contoh yang memadai untuk situasi itu adalah Anna generasi cicit Sastrodarsono
yang hidup di tahun 1980-an dan 1990-an di kota besar Jakarta, dalam Jalan Menikung karya Umar Kayam.
* * *
Seperti
telah disinggung, penghadiran karakter perempuan dalam beberapa novel di atas
tentu ada tujuan atau “pesan” tersembunyi di dalamnnya. Novel di atas tidak
dimaksudkan untuk membangun sebuah model kehidupan, tetapi lebih menempatkan
kompleksitas posisi sosial perempuan sebagai masalah itu sendiri.
Hal yang ingin dibayangkan setelah
membaca novel ini adalah bahwa masalah ketimpangan gender di Indonesia masih
merupakan problem serius. Memang terdapat sejumlah progresi, seperti
diperlihatkan generasi Ni dalam Canting
atau generasi cicit Sastrodarsono dalam Jalan
Menikung. Atau novel yang ditulis oleh generasi terkini seperti tampak pada
posisi sosial tokoh perempuan dalam Saman
dan Supernova. Akan tetapi, itu hanya
bisa dikenai kepada mereka yang terlahir dari kelas menengah terdidik dan dalam
masyarakat modern perkotaan. Tidak demikian halnya dengan perempuan yang hidup
di desa, dari masyarakat bawah, dan
tidak mendapat pendidikan yang memadai. * * *
Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM,
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar