Jumat, 20 Juli 2012

POSISI SOSIAL PEREMPUAN DALAM SASTRA


Mengkaji posisi sosial perempuan dalam dominasi dan budaya patriarki selalu penting karena hal tersebut masih merupakan masalah masyarakat Indonesia. Walaupun sebagian masyarakat Indonesia semakin menyadari bahwa posisi sosial perempuan-laki-laki itu seharusnya proporsional, tetapi dalam praktiknya jauh panggang dari api. Hal itu antara lain dikarenakan masih kuatnya budaya patriarkis yang bercokol dalam praktik-praktik kehidupan bermasyarakat. Kita tahu, mengubah tradisi atau budaya itu bukan pekerjaan mudah, membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Dalam rentang waktu yang lama, negara Indonesia dikuasai oleh rezim yang biasa disebut rezim Orde Baru. Selama masa kekuasaannya, negara melakukan berbagai proses legitimasi untuk menempatkan keberadaan perempuan sebagai atribut laki-laki. Waktu itu, kegiatan seperti PKK adalah contoh paling representatif ketika wanita tidak lebih sebagai bagian dari subjek dan aktivitas laki-laki.
Novel, sebagai cermin dan representasi masyarakat, dalam segala cara “merekam” persoalan posisi perempuan dalam masyarakat Indonesia. Pada tahun 1980-an, novel-novel yang muncul kebanyakan dari penulis Jawa, dan novel juga bercerita tentang masyarakat Jawa. Bangkitnya novel dengan nuansa warna lokal itu adalah ketika rezim Orde Baru demikian gagah berkuasa. Sejumlah novel melakukan kehati-hatian bahkan kompromi berhadapan dengan rezim Orde Baru dalam menembapatkan posisi sosial perempuan.
* * *
Dalam konteks itu, novel-novel Indonesia yang mengrepresentasikan masyarakat Jawa itu menghadirkan keberadaan perempuan secara berbeda-beda, dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda. Paling tidak terdapat 6 kecenderungan penokohan perempuan sebagai berikut.
Pertama, tokoh perempuan yang lemah (dalam pengertian sosial dan ekonomi), hidup dalam situasi yang tidak kondusif, dan gagal mencapai posisi sosial keperempuanannya. Contoh yang baik dalam kasus ini adalah Srintil dalam Trilogi Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Memang ada percobaan resistensi diam-diam terhadap tradisi bukak klambu atau pun terhadap peng-objek-an perempuan dalam hubungan seksual. Akan tetapi, sebagai wanita, hingga di akhir cerita, Srintil gagal menjadi wanita dengan kedudukan sosial yang baik, bahkan ia seperti hilang kesadaran (gila).
Kedua, tokoh wanita yang lemah, tetapi terdapat situasi kondusif sehingga ia mencoba berjuang mendapatkan posisi sosial keperempuannya agar lebih baik, walaupun tidak berhasil. Contoh yang baik adalah Lasi dalam Bekisar Merah (Ahmad Tohari). Karena menjadi istri simpanan Handarbeni, posisi ekonomi Lasi menguat. Akan tetapi, karena tidak mendapatkan pendidikan yang memadai, dalam posisi ekonomi yang membaik itu, Lasi tetap gagal mendapatkan posisi sosial yang layak. Bahkan ia terkatung-katung antara sebagai simpanan Handarbeni dan harapan menjadi istri Kanjat yang dosen di sebuah Perguruan Tinggi Negeri.
Ketiga, tokoh perempuan yang lemah secara sosial, dan dalam kondisi itu berjuang untuk mendapatkan posisi sosial yang baik dan berhasil. Contohnya adalah Siti Zaitun dalam Pasar karya Kuntowijoyo. Keuntungan Zaitun adalah dia bekerja di sebuah bank di desa. Sebagai orang yang (lebih) terdidik, masyarakat secara relatif menghargainya. Dia bisa berdebat dengan Pak Mantri, seorang sesepuh desa yang cukup dihormati. Walupun posisi sosial Zaitun jauh lebih baik dibanding Srintil atau Lasi, tetapi Zaitun tidak cukup sukses beradaptasi dengan kultur desa tempat ia bekerja di bank. Zaitun lebih cocok kerja di kota karena kota merupakan tempat demokrasi gender lebih hidup.
Keempat, tokoh wanita yang kuat (dalam arti memiliki status sosial dan ekonomi yang baik), tetapi ditempatkan dalam posisi sosial yang tidak kondusif bagi posisi sosial keperempuanannya. Contoh yang menonjol adalah Bu Bei dalam Canting karya Arwendo Atmowiloto dan Siti Ngaisah dalam Para Priyayi karya Umar Kayam. Bu Bei ulet, cerdas, dan wanita yang berhasil secara ekonomi. Sayang dia hidup dalam sebuah kultur (Jawa) yang perlu “takut” dan mengabdi kepada Suami (Pak Bei) yang bangsawan. Hal itu juga dilatarbelakangi bahwa bagaimanapun Bu Bei pada awalnya adalah wong cilik yang dinikahi oleh Pak Bei yang bangsawan.
Dalam konteks yang lebih lembut, hal yang lebih kurang sama terjadi pada Siti Ngaisah. Walaupun Siti Ngaisah dan Sastrodarsono dari status sosial yang lebih kurang sama, Siti Ngaisah dengan kecerdasan dan kecekatannya, hidup dalam tradisi-kulturnya selalu saja sebagai wanita yang ikut suami.
Kelima, tokoh  perempuan yang kuat, berjuang untuk mendapatkan posisi sosial yang baik dan berhasil. Contoh yang paling representatif adalah putri-putri Bu Bei dan Pak Bei dalam Canting. Ni adalah contoh yang menonjol. Yang menguntungkan Ni adalah dia lahir sebagai anak priyayi dengan kelas ekonomi yang baik. Ni sekolah hingga sarjana. Dalam berhadapan dengan kultur patriarki, Ni tanpa beban psikologis yang berarti sejajar dengan laki-laki (calon suaminya). Hal itu sekaligus memberi informasi bahwa wanita bisa mendapatkan posisi sosial yang baik mungkin karena keturunan, pendidikan, atau kelas ekonomi.
Keenam, tokoh perempuan yang tidak memiliki masalah dalam posisi sosialnya dalam dominasi budaya patriarki yang masih dominan. Hal itu terjadi dikarenakan mereka hidup sebagai masyarakat kelas menengah (atas), perkotaan, dan terdidik. Contoh yang memadai untuk situasi itu adalah Anna generasi cicit Sastrodarsono yang hidup di tahun 1980-an dan 1990-an di kota besar Jakarta, dalam Jalan Menikung karya Umar Kayam. 
* * *
Seperti telah disinggung, penghadiran karakter perempuan dalam beberapa novel di atas tentu ada tujuan atau “pesan” tersembunyi di dalamnnya. Novel di atas tidak dimaksudkan untuk membangun sebuah model kehidupan, tetapi lebih menempatkan kompleksitas posisi sosial perempuan sebagai masalah itu sendiri. 
            Hal yang ingin dibayangkan setelah membaca novel ini adalah bahwa masalah ketimpangan gender di Indonesia masih merupakan problem serius. Memang terdapat sejumlah progresi, seperti diperlihatkan generasi Ni dalam Canting atau generasi cicit Sastrodarsono dalam Jalan Menikung. Atau novel yang ditulis oleh generasi terkini seperti tampak pada posisi sosial tokoh perempuan dalam Saman dan Supernova. Akan tetapi, itu hanya bisa dikenai kepada mereka yang terlahir dari kelas menengah terdidik dan dalam masyarakat modern perkotaan. Tidak demikian halnya dengan perempuan yang hidup di desa, dari masyarakat bawah,  dan tidak mendapat pendidikan yang memadai. * * *

Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar