Aprinus Salam
Salah
satu fenomena umum kajian-kajian sastra adalah bahwa sastra dianalisis/dikaji,
dalam perspektif teori tertentu, tetapi “tidak dibingkai” oleh ideologi para
pengkajinya. Kasarnya, walaupun tidak cukup tepat, para pengkaji sastra secara
umum tidak mengedepankan ideologi jika meneliti karya sastra. Kenapa hal itu
terjadi, dan mengapa kajian kesusastraan perlu dibingkai oleh ideologi?
Dalam
rentang waktu yang lama, kajian-kajian keilmuan, baik sosial ataupun humaniora,
“terbelenggu” oleh objektivitas dan netralitas keilmuan. Sesuatu dianggap
ilmiah jika kajian tersebut mampu menjauhkan subjektivitas dari “ideologi
pengkaji”, atau bersikap netral terhadap berbagai kepentingan. Sebuah kajian
selayaknya “demi” keilmuan itu sendiri, tidak karena ideologi atau kepentingan
tertentu. Ilmu tidak boleh dimanipulasi oleh keperluan-keperluan pragmatis,
apalagi karena tujuan-tujuan politik dan ekonomi.
Kajian
sastra juga tidak sepenuhnya bebas dari belenggu objektivitas dan netralitas
keilmuan tersebut. Seperti diketahui, sejumlah teori sastra lahir dalam
semangat filsafat positivisme, filosofi yang mendukung objektivitas dan
netralitas keilmuan. Sebagai misal, teori
struktural. Teori struktural dalam kadar tertentu memang tidak berpretensi
untuk membuka peluang subjektif pengkaji dalam menganalisis karya sastra.
Sebagai
akibatnya, kajian sastra menjadi sesuatu yang tidak kontekstual, tidak
menyejarah, dan nyaris tidak berhubungan dengan persoalan masyarakat tempat
karya sastra tersebut hadir dan dibicarakan. Waktu itu para pengkaji tidak memiliki
pilihan teori yang beragam dalam mempelajari kesusastraan. Implikasinya adalah
bahwa karya sastra dan kajiannya diabaikan dan secara relatif tidak berguna
bagi masyarakat.
Tidak berguna dalam konteks apa?
Yakni tidak berguna dalam konteks ketika Indonesia menghadapi masalah
ketidakadilan, kebodohan, kemiskinan, kriminalitas, indeks kemampuan SDM yang
demikian rendah, sementara kajian sastra hampir tidak berorientasi untuk
memberikan kontribusi pemikiran dalam mengatasi atau ikut menjelaskan persoalan
tersebut. Bahkan masih terdapat sejumlah kajian yang masih mengurus gaya
bahasa, alur cerita, tanpa peduli apa yang terjadi di lingkungan sosialnya.
Dalam hal itu, kajian itu ingin saya
katakan sebagai sesuatu yang tidak bersifat ideologis, bahkan tidak cukup bermoral. Amin Rais dalam bukunya
Agenda-Mendesak
Bangsa Selamatkan Indonesia
(2008) mengatakan bahwa netralitas keilmuan dan peneliti dengan membiarkan
berbagai ketidakberesan di lingkungannya, adalah sama dengan tindakan kriminal
itu sendiri. Dalam posisi inilah seharusnya para pengkaji sastra perlu
membingkai kajiannya dalam istilah yang sekarang populer, mari bersama-sama “Selamatkan
Indonesia!”
* * *
Teori-teori
sastra terus berkembang. Saat ini, persoalan objektivitas dan netralitas
keilmuan mulai dipertanyakan bahkan sudah tidak dipercaya. Tidak ada ilmu yang lahir
bebas dari konteks, ataupun subjektivitas, bahkan ideologi. Salah satu yang
signifikan yang membongkar objektivitas dan netralitas itu adalah teori
postrukturalisme dan posmodernisme. Paradigma yang dikembangkan adalah dengan
mengakui subjektivitas, ideologi, tujuan, relevansi, dan kepentingan kajian.
Masalahnya
adalah bahwa ilmu-ilmu dan teori sastra sepenuhnya berkembang di Barat, dan
diadopsi secara telanjang dan apa adanya oleh pengkaji Indonesia. Padahal
lahirnya sebuah teori, berangkat dari satu tujuan dan kepentingan tertentu yang
kontekstual dengan tempat teori tersebut dilahirkan. Artinya, belum tentu teori-teori
tersebut jika dipraktikkan di Indonesia
menjadi cukup relevan.
Hal
itu memang masalah lama dan klasik. Akan tetapi, bukan berarti tidak layak
dibicarakan ulang jika hal itu masih terjadi hingga kini. Dalam hal ini yang
ingin dikatakan adalah bukan teori tersebut tidak layak diadopsi, tetapi perlu
ada penyesuaian-penyesuaian sehingga praktik penggunaan teori tersebut menjadi
relevan dan bermanfaat. Hal itu bukan berarti sejalan dengan filsafat
pragmatisme, tetapi memang terdapat kondisi-kondisi dan masalah-masalah
tertentu di Indonesia yang secara sinergis harus diatasi bersama.
Berikut
akan diberikan beberapa kasus kajian berdasarkan teori dan metode tertentu,
yakni teori semiotik, feminisme, dan poskolonial. Kasus yang dibicarakan adalah
bagaimana memosisikan konsep-konsep tersebut sebagai teori analisis atau
sebagai metode. Persoalan pemosisian ini berkaitan dengan seberapa signifikan ideologi peneliti “dapat”
ikut campur dalam membingkai kajian.
Misalnya
semiotik. Ada kerancuan dalam memahami apakah semiotik itu teori atau metode.
Menurut hemat saya semiotik itu adalah teori metode, yakni satu cara kerja
dalam memahami, sekaligus pengakuan, bahwa setiap teks itu merupakan tanda, dan
setiap tanda memberikan tanda berikutnya. Hubungan antara penanda dan petanda itu
bersifat arbitrer. Hal yang perlu dipahami adalah tidak ada ideologi dalam
konsep dan metode tersebut. Dalam posisi inilah pengkaji dapat membingkai
hubungan-hubungan semiotis yang arbitrer tersebut secara ideologis, sesuai
dengan kepentingan dan tujuan pengkaji, dan kontekstual dengan masalah yang
dihadapi masyarakat.
Misal
lain adalah feminisme. Feminisme adalah salah satu teori yang berkembang dalam
kajian sastra sebagai upaya “membongkar” ketimpangan relasi (kuasa) gender
dalam karya sastra. Sebagai teori, feminisme sekaligus sebuah teori yang
memiliki ideologi. Masalahnya adalah, kadang-kadang, pengkaji sastra tidak
menempatkan ideologi feminisme yang berkembang di Barat tersebut dalam memahami
masalah gender di Indonesia secara kontekstual. Pengkaji tidak membingkai teori
feminisme yang ideologis tersebut secara ideologis. Sebagai akibatnya, kajian
sering tidak membumi, lemah relevansinya, berhadapan dengan persoalan relasi
posisi sosial dan kultural perempuan dan politik gender di Indonesia.
Sebagai
contoh lain adalah kajian poskolonial yang akhir-akhir ini juga cukup banyak
dipraktikkan di Indonesia. Dalam konsepnya, teori ini hampir sama dengan
feminisme, dalam pengertian bahwa teori ini sekaligus memiliki ideologi
tertentu. Secara khas kajian ini mempersoalkan persoalan-persoalan praktik
berbahasa dan problem identitas di negara-negara bekas jajahan (negara-negara
koloni).
Di
Indonesia misalnya, bagaimana problem praktik berbahasa negara penjajah, di
negara bekas jajahan, berhadapan dan dipraktikkan dengan bahasa nasional bahkan
bahasa-bahasa lokal. Di samping itu, bagaimana pula persoalan identitas, dalam
kaitannya dengan nasionalitas, dalam era modernisasi global dan kapitalisme
dalam masyarakat Indonesia setelah tidak dijajah. Bagaimana masalah pertarungan
pemaknaan yang berkembang.
Masalahnya
adalah apakah masalah bahasa dan identitas memang demikian gawat di Indonesia?
Misalnya karena persoalan bahasa dan identitas bisa menyebabkan munculnya
konflik dan kekerasan. Atau sebaliknya, terjadinya krisis dan degradasi
nasionalitas dalam diri bangsa Indonesia. Kalau demikian halnya, maka teori
poskolonial menjadi sangat relevan untuk diadopsi, tetapi selayaknya dalam
bingkai ideologi yang kontekstual dengan persoalan yang dihadapi masyarakat
Indonesia. Kajian poskolonial selayaknya membantu dalam memahami, memberi
pengertian, dan sekaligus “mencarikan solusi” terhadap problem yang secara
faktual dihadapi oleh masyarakat.
Dalam
persoalan tersebut bingkai ideologi pengkaji perlu terlibat dalam mengarahkan
dan mencari persoalan (masalah) yang berkembang di sastra berkorelasi langsung
dengan masalah di tingkat kenyataan. Dalam bingkai itu, pengkaji perlu
memberikan pemahaman dan pemikiran bagaimana sastra merepresentasikan persoalan
yang menjadi masalah bersama. * * *
Aprinus Salam, dosen Fakultas
Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar