KAJIAN SASTRA DALAM
MASYARAKAT INDONESIA
Oleh Aprinus Salam
Dalam sejumlah kesempatan, sering
muncul pertanyaan apa hubungan kajian sastra dengan masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat Indonesia? Pertanyaan tersebut tentu perlu mendapat
tanggapan serius, bukan saja berkaitan dengan relevansi kajian sastra terhadap
masyarakat, melainkan pula terhadap orientasi dan masa depan ilmu dan kajian
sastra itu sendiri.
Tulisan
ini akan membicarakan mengapa pertanyaan tersebut muncul dan kemungkinan solusi
dalam mengembangkan kajian sastra sehingga kajian sastra lebih dirasakan
“kedekatannya” dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia.
Tulisan ini membicarakan persoalan tersebut dalam koridor perkembangan kajian
sastra di Indonesia dalam perspektif masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
* * *
Tidak dapat dipungkiri bahwa hingga
hari ini masih sering muncul pertanyaan apa yang dapat dipelajari dari sebuah
puisi, cerpen, atau novel. Latar belakang pertanyaan tersebut muncul karena
masih terpeliharanya asumsi dan persepsi bahwa mempelajari puisi seolah
mempelajari keindahan olah kata. Atau mempelajari novel seolah mempelajari
sebuah cerita fiktif, cerita yang mengada-ada, yang hampir tidak berhubungan
dengan fakta-fakta dalam realitas kehidupan. Itu pula sebabnya, kemudian muncul
pertanyaan, setelah mempelajari sastra, atau lulusan sarjana sastra itu bisa
bekerja di mana? Atau instansi apa yang dapat menerima sarjana yang lulus
karena mempelajari puisi, cerpen, atau novel.
Di
Indonesia, pertanyaan tersebut tentu tidak sepenuhnya salah. Hingga hari ini,
pelajaran dan pengertian sastra (terutama di SMP dan SMA), masih bergerak dalam
penapisan struktural. Bahkan beberapa kurikulum di perguruan tinggi pun masih
“mempertahankan” paradigma itu sehingga persoalan sastra seolah bergerak hanya
dalam koridor tema, penokohan, latar, alur, sudut pandang penceritaan, gaya
bahasa, dan sebagainya. Pengetahuan itu dipelihara, disimpan, dan diteruskan
sehingga para pelajar (dan masyarakat) masih “berkeyakinan” bahwa persoalan
sastra tidak lebih dari itu. Yang mengherankan, sejumlah buku (teori) yang
belakangan terbit tentang kesusastraan masih meneruskan tradisi itu.
Memang,
penapisan struktural penting karena bagaimanapun teori itu menjadi dasar bagi
pengetahuan kesusastraan. Masalahnya, teori-teori struktural justru mulai tidak
relevan karena tidak menjelaskan sejarah, konteks, dan sosiologi kehadiran
sebuah karya sastra. Teori struktural juga tidak meletakkan substansi karya
sastra sebagai sebuah karya yang mampu mengemas persoalan manusia dan
masyarakat secara esensial. Hal yang dimaksud sebagai sesuatu yang esensial
adalah bahwa berbagai persoalan faktual yang dihadapi manusia dikemas dalam
suatu “abstraksi universal” sehingga “fakta cerita” (fiksi) menjadi sesuatu
yang mampu menelanjangi hakikat persoalan manusia.
Belakangan
ini, mengingat sejumlah persoalan yang semakin runyam, relevansi dan kontribusi
kajian sastra semakin dipertanyakan dalam ikut memikirkan masalah yang dihadapi
masyarakat Indonesia. Masalah-masalah itu antara lain, seperti kita sudah
sangat tahu, masalah kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan. Dalam perspektif yang lebih spesifik terdapat
juga masalah korupsi, ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, konflik dan
kekerasan, kesemrawutan sosial, “keuangan yang maha kuasa”, dan sebagainya.
Memang,
pertanyaan itu terkesan tidak adil ketika sastra, pengetahuan yang selalu
dianaktirikan, harus menanggung beban masalah sebesar dan seberat itu. Akan
tetapi, harus ada sikap-sikap yang bersifat ideologis dan berpihak terhadap
masalah bangsa dan negara, ketika ilmu-ilmu lain, seperti ekonomi, politik,
atau teknologi, justru terlibat dalam persoalan (dan penyebab) kemiskinan,
kebodohan, atau bahkan ketidakadilan.
* * *
Persoalannya
adalah bagaimana sesuatu yang esensial tersebut dikaitkan dengan persoalan yang
dihadapi masyarakat Indonesia. Hal ini mau tidak mau harus dimulai kembali
dalam merumuskan “definisi” dan keberadaan sastra. Artinya, definisi dan
keberadaan sastra yang selama ini dipahami dalam paradigma keterbatasan
struktural, selayaknya diperbarui, dikontektualisasi, sesuai dengan
pemahaman-pemahaman baru yang terus berkembang.
Dalam hal itu, hal yang perlu dipahami adalah
bahwa karya sastra merupakan “hasil seleksi” dari berbagai peristiwa dan
kejadian, disaring secara substansial dari berbagai motif fakta kemanusiaan,
dipikirkan dengan jeli dan rumit, dan dikemas dalam satu jaringan tekstual yang
berfungsi sebagai penanda. Hasilnya adalah sebuah teks yang dapat dijadikan
“sumber informasi” dalam memahami berbagai persoalan manusia dan suatu
masyarakat.
Kunci
utama persoalan terletak pada adanya pengakuan bahwa pada akhirnya hal-hal yang
perlu dipelajari dan ditafsirkan, baik dalam ilmu politik, hukum, sosial,
ekonomi, agama, budaya, bahkan teknologi adalah kata, ungkapan,
pernyataan, atau cerita. Dalam kasus-kasus politik atau agama, memang
terdapat fakta-fakta di tingkat kenyataan, seperti kasus-kasus kekerasan atau
pergeseran-pergeseran kecenderungan/fenomena kehidupan sosial.
Ketika
kita mempelajari kasus kekerasan atau berbagai perubahan kecenderungan
tersebut, yang kita pelajari adalah kata, ungkapan, cerita, atau tegasnya
teks. Dalam arti, berbagai kejadian atau
peristiwa itu pada akhirnya direkam (dalam berbagai cara), disampaikan, didiskusikan,
dianalisis, ditafsirkan, dicarikan solusinya, berdasarkan hasil laporan,
cerita, atau teks.
Kasus
mutakhir yang membuat heboh, misalnya, kasus SKB tiga menteri berkaitan dengan
posisi atau kedudukan Ahmadiyah. Hal yang membuat heboh adalah teks keputusan
itu sendiri, yang diramaikan adalah teks. Sejumlah peneliti dalam mendapatkan
informasi juga berdasarkan wawancara (cerita informan) atau berdasarkan
sejumlah tulisan (teks). Lantas, apa bedanya dengan karya sastra?
Hal
yang membedakan adalah bahwa karya sastra ditulis dan dikemas dalam satu
abstraksi peristiwa/kejadian sehingga karya sastra menjadi sesuatu yang,
seolah-olah, tidak berhubungan dengan kenyataan. Padahal, karya sastra justru
mengangkat peristiwa atau kejadian tersebut secara berbeda, secara
simbolik, dan dalam cara-cara tertentu
justru menjadi sebuah teks yang informatif karena berbagai kejadian disajikan
dalam sebuah cerita yang inspiratif dalam memahami peristiwa atau kejadian yang
terjadi di masyarakat.
Dalam
paradigma itulah, kajian sastra selayaknya dapat dikembangkan menjadi salah
satu sumber dalam memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi di masyarakat.
Novel Proyek karya Ahmad Tohari, misalnya, dapat dijadikan salah satu
bahan bagaimana menjelaskan alur korupsi, bagaimana karakter-karakter yang
terlibat, sebab-sebab terjadinya korupsi, dan bagaimana korupsi menjadi suatu
budaya dalam masyarakat Indonesia.
Novel
Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo dapat dijadikan informasi dan
inspirasi bagaimana memahami jalannya politik di Indonesia. Bahkan juga dapat
dipakai bagaimana menggerakkan masyarakat untuk lebih sadar berhadapan dengan
lingkungan hidup. Novel Umar Kayam Para Priyayi dan Jalan Menikung
dapat dijadikan bahan yang sangat penting dalam memahami persoalan perubahan
sosial Indonesia.
Tentu
banyak karya sastra lain, termasuk cerpen dan puisi, yang dapat dijadikan bahan
atau sumber informasi, sumber inspirasi, dalam memahami persoalan kriminalitas,
persoalan demokrasi, ketidakadilan, dan berbagai konflik dan kekerasan yang
terjadi di Indonesia. Berbagai kajian itu selayaknya diapropresiasi dengan
kejadian di tingkat kenyataan sehingga karya sastra mendapat posisi yang lebih
kontekstual dalam persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia.
Saya
mengira, mengingat berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia,
kajian (sastra) yang tidak mencoba membantu menjelaskan, atau memberi pemahaman
baru, atau yang tidak mencoba membantu mencarikan solusi dalam mengatasi
berbagai masalah yang dihadapi Indonesia, bangsa yang hampir tidak pernah
keluar dari rundung kemalangan dan kemiskinan, kajian itu secara relatif hampir
tidak berguna.
Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar