Aprinus Salam
Belakangan
ini semakin santer pemakaian istilah ataupun anjuran agar kita semakin teguh
berpegang pada hati nurani. Misalnya, ajakan-ajakan pilihlah pemimpin sesuai
dengan hati nurani; Kita harus berani bersikap sesuai dengan panggilan hati
nurani; Selayaknya kita bekerja sesuai dengan pilihan hati nurani kita; Berpolitiklah
sesuai dengan hati nurani, dan sebagainya.
Masalahnya
adalah apakah itu hati nurani dan bagaimana kesusastraan “mengajarkan” kita
bertindak, berprilaku, atau hidup sesuai dengan panggilan hati nurani. Bagaimanakan
novel menceritakan politik berdasarkan hati nurani? Tulisan ini dimulai dari
kasus dalam novel dan kemudian mencoba merumuskan apa itu yang dimaksud dengan
politik hati nurani.
* * *
Tidak
banyak novel Indonesia yang secara eksplisit mencoba mengusung masalah hati
nurani sebagai bagian dari motif cerita. Atau sebaliknya, bukan maksud novel menghilangkan
hati nurani, tetapi karena situasi dominan dan hegemonik tradisionalisme, pragmatisme,
rasionalisme, ekonomisme, dan sebagainya, hati nurani tidak pernah
diperhitungkan dalam berbagai keputusan, tindakan, dan perilaku apapun.
Hal
itu dapat dirunut dari sejumlah novel Indonesia. Dalam Siti Nurbaya, misalnya, jika Siti Nurbaya menuruti panggilan hati
nuraninya, maka ia tidak perlu menjadi istri muda Datuk Maringgih. Memang
Nurbaya melawan sekuat hatinya. Akan tetapi, dalam cengkraman budaya Minang dan
kekuasaan Datuk Maringgih, Nurbaya terpaksa tidak berpihak ke hati nuraninya. Rasa
kasihan kepada orang tuanya yang akan dipenjara karena terikat hutang kepada
Datuk Maringgih membuat Nurbaya menyerahkan dirinya kepada Maringgih untuk
diperistri. Nurbaya memilih tidak mengikuti hati nuraninya dengan berbagai
pertimbangan, atau ketakutan terhadap tradisi dan kekuasaan politik-ekonomi.
Contoh
lain, misalnya dalam Belenggu. Kartono,
walaupun hidup terhormat sebagai dokter (yang pada waktu itu masih sangat
jarang), memiliki istri cantik dan modern (untuk ukuran pada waktu itu), tetapi
Kartono nyaris tidak pernah bahagia menjalani posisi hidup seperti itu.
Hal
itu dikerenakan Kartono tidak hidup dalam posisinya sesuai dengan panggilan
hati nuraninya. Jika ia ingin menjalani sesuai dengan panggilan hati nuraninya,
terpaksa hal itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Ia sebetulnya justru ingin
menjadi seniman daripada menjadi dokter. Tetapi, garis hidup “memaksanya” lebih
sebagai dokter daripada seniman yang hidup “lebih bebas”. Ia terbelenggu dan
hidup dalam kepalsuan.
Masalah
hati nurani, walaupun secara implisit, dapat diketahui dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari. Dalam hidupnya Srintil tidak pernah cukup nyaman karena tertekan.
Hidupnya telah diatur oleh tradisi masyarakat Paruk untuk menjadi ronggeng
dengan segala prosedur tradisi yang harus dilewatinya.
Satu-satunya
kesempatan ia dapat memenuhi panggilan hati nuraninya adalah ia nekat
menyerahkan keperawanannya kepada Rasus. Ia memilih memberikan keperawanannya
kepada Rasus yang ia cintai daripada kepada pembeli tertinggi pada malam bukak kelambu. Pilihan itu selalu
dikenangnya sebagai kenangan yang membuatnya puas dan bahagia, karena hanya
dalam kesempatan itu dia bisa menjadi dirinya.
Posisi
hati nurani di atas tidak lebih untuk keperluan-keperluan yang bersifat
pribadi. Yakni ketika seseorang berjuang mengatasi persoalan-persoalan yang
dihadapinya secara individual, dan dalam persoalan tersebut seseorang memilih
mengatasi persoalan tersebut berdasarkan panggilan hati nurani atau tidak.
* * *
Salah
satu novel yang secara eksplisit memperjuangkan pentingnya hidup berdasarkan hati
nurani adalah novel Mantra Pejinak Ular
karya Kuntowijoyo. Diceritakan dalam novel tersebut bagaimana Abu Kasan Sapari,
yang pintar mendalang dan menjinakkan ular itu diperebutkan oleh partai politik
agar menjadi salah satu “juru bicara” partai yang berkuasa (Partai Randu). Jika
Sapari bersedia mengkampanyekan partai yang berkuasa itu dalam berdalang, maka
ia akan mendapatkan kompensasi yang besar atau posisi politik yang baik.
Sapari
bukan orang bodoh seperti domba yang hidupnya bisa diatur sedemikian rupa oleh
partai atau pemerintah yang berkuasa. Sapari tahu bahwa partai berkuasa tersebut
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Berdasarkan refleksi hati dan
perasaannya (hati nurani), ia berkesimpulan bahwa orang-orang partai tersebut
tidak lebih sekelompok oportunis, sekelompok orang yang rakus harta dan
kekuasaan, tetapi munafik karena selalu mengatakan bahwa aktivitas politik
mereka adalah untuk kepentingan rakyat.
Berdasarkan pertimbangan hati
nuraninya, Sapari tidak mau terlibat dalam kegiatan politik partai yang
berkuasa tersebut. Ia memilih berpolitik sesuai dengan hati nuraninya yakni
dengan tetap mendalang tetapi menyampaikan keluhan dan penderitaan rakyat.
Sebagai akibatnya, parpol berkuasa di tempat Sapari mendalang kalah dalam
pemilihan lurah. Seperti sudah dapat diduga, dengan kekuasaan politiknya,
partai politik yang berkuasa berhasil menyingkirkan Sapari dari daerah tempat
ia bekerja.
Sapari memang tersingkir dan kalah.
Bahkan, pada akhirnya, ia tidak lebih sebagai seniman dalang kecil-kecilan di sebuah
desa sambil menjadi penatah wayang. Namun, dalam hidup yang kalah dan
tersingkir itu, Sapari merasa hidup menjadi manusia yang utuh dan apa adanya,
bahkan sangat bahagia dalam menjalani hidup seperti itu.
Tentu
tidak banyak orang berani hidup seperti yang dilakukan Sapari. Tapi begitulah
resiko hidup berdasarkan pilihan hati nurani. Artinya, berangkat dari beberapa
kasus dalam novel di atas, banyak orang hidup, atau masyarakat dan negara
berjalan tidak berdasarkan hati nurani. Orang yang hidup dengan bertahan dalam
hati nuraninya, ia akan kalah dan tersingkir. Ia menjadi orang yang asing dan
tidak normal.
Jika
hal itu direfleksikan dalam kehidupan nyata, maka semakin terbukti bahwa pada
dasarnya kita hidup bukan berdasarkan hati nurani. Kita hidup dalam satu
cengkraman kekuasaan; apakah itu tradisi, agama, politik kekuasaan, dan
sebagainya yang pada dasarnya justru bertentangan dengan hati nurani.
Sebagai
akibat. banyak orang tidak bisa menuruti panggilan hati nuraninya sehingga
seseorang hidup tidak menjadi dirinya. Seseorang terpaksa hidup sesuai dengan
apa maunya kekuatan-kekuatan yang hidup dalam masyarakat, seperti patriarkisme,
kemauan politik kekuasaan yang sedang berkuasa, kemauan pasar, dan sebagainya.
Politik hati nurani sering bertentangan dengan kenyataan yang ada. * * *
Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar