Kamis, 19 April 2012

SASTRA DAN POLITIK HATI NURANI


Aprinus Salam

Belakangan ini semakin santer pemakaian istilah ataupun anjuran agar kita semakin teguh berpegang pada hati nurani. Misalnya, ajakan-ajakan pilihlah pemimpin sesuai dengan hati nurani; Kita harus berani bersikap sesuai dengan panggilan hati nurani; Selayaknya kita bekerja sesuai dengan pilihan hati nurani kita; Berpolitiklah sesuai dengan hati nurani, dan sebagainya.
Masalahnya adalah apakah itu hati nurani dan bagaimana kesusastraan “mengajarkan” kita bertindak, berprilaku, atau hidup sesuai dengan panggilan hati nurani. Bagaimanakan novel menceritakan politik berdasarkan hati nurani? Tulisan ini dimulai dari kasus dalam novel dan kemudian mencoba merumuskan apa itu yang dimaksud dengan politik hati nurani.
* * *
Tidak banyak novel Indonesia yang secara eksplisit mencoba mengusung masalah hati nurani sebagai bagian dari motif cerita. Atau sebaliknya, bukan maksud novel menghilangkan hati nurani, tetapi karena situasi dominan dan hegemonik tradisionalisme, pragmatisme, rasionalisme, ekonomisme, dan sebagainya, hati nurani tidak pernah diperhitungkan dalam berbagai keputusan, tindakan, dan perilaku apapun.
Hal itu dapat dirunut dari sejumlah novel Indonesia. Dalam Siti Nurbaya, misalnya, jika Siti Nurbaya menuruti panggilan hati nuraninya, maka ia tidak perlu menjadi istri muda Datuk Maringgih. Memang Nurbaya melawan sekuat hatinya. Akan tetapi, dalam cengkraman budaya Minang dan kekuasaan Datuk Maringgih, Nurbaya terpaksa tidak berpihak ke hati nuraninya. Rasa kasihan kepada orang tuanya yang akan dipenjara karena terikat hutang kepada Datuk Maringgih membuat Nurbaya menyerahkan dirinya kepada Maringgih untuk diperistri. Nurbaya memilih tidak mengikuti hati nuraninya dengan berbagai pertimbangan, atau ketakutan terhadap tradisi dan kekuasaan politik-ekonomi.
Contoh lain, misalnya dalam Belenggu. Kartono, walaupun hidup terhormat sebagai dokter (yang pada waktu itu masih sangat jarang), memiliki istri cantik dan modern (untuk ukuran pada waktu itu), tetapi Kartono nyaris tidak pernah bahagia menjalani posisi hidup seperti itu.
Hal itu dikerenakan Kartono tidak hidup dalam posisinya sesuai dengan panggilan hati nuraninya. Jika ia ingin menjalani sesuai dengan panggilan hati nuraninya, terpaksa hal itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Ia sebetulnya justru ingin menjadi seniman daripada menjadi dokter. Tetapi, garis hidup “memaksanya” lebih sebagai dokter daripada seniman yang hidup “lebih bebas”. Ia terbelenggu dan hidup dalam kepalsuan.
Masalah hati nurani, walaupun secara implisit, dapat diketahui dari  trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Dalam hidupnya Srintil tidak pernah cukup nyaman karena tertekan. Hidupnya telah diatur oleh tradisi masyarakat Paruk untuk menjadi ronggeng dengan segala prosedur tradisi yang harus dilewatinya.
Satu-satunya kesempatan ia dapat memenuhi panggilan hati nuraninya adalah ia nekat menyerahkan keperawanannya kepada Rasus. Ia memilih memberikan keperawanannya kepada Rasus yang ia cintai daripada kepada pembeli tertinggi pada malam bukak kelambu. Pilihan itu selalu dikenangnya sebagai kenangan yang membuatnya puas dan bahagia, karena hanya dalam kesempatan itu dia bisa menjadi dirinya.
Posisi hati nurani di atas tidak lebih untuk keperluan-keperluan yang bersifat pribadi. Yakni ketika seseorang berjuang mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya secara individual, dan dalam persoalan tersebut seseorang memilih mengatasi persoalan tersebut berdasarkan panggilan hati nurani atau tidak.
* * *
Salah satu novel yang secara eksplisit memperjuangkan pentingnya hidup berdasarkan hati nurani adalah novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo. Diceritakan dalam novel tersebut bagaimana Abu Kasan Sapari, yang pintar mendalang dan menjinakkan ular itu diperebutkan oleh partai politik agar menjadi salah satu “juru bicara” partai yang berkuasa (Partai Randu). Jika Sapari bersedia mengkampanyekan partai yang berkuasa itu dalam berdalang, maka ia akan mendapatkan kompensasi yang besar atau posisi politik yang baik.
Sapari bukan orang bodoh seperti domba yang hidupnya bisa diatur sedemikian rupa oleh partai atau pemerintah yang berkuasa. Sapari tahu bahwa partai berkuasa tersebut bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Berdasarkan refleksi hati dan perasaannya (hati nurani), ia berkesimpulan bahwa orang-orang partai tersebut tidak lebih sekelompok oportunis, sekelompok orang yang rakus harta dan kekuasaan, tetapi munafik karena selalu mengatakan bahwa aktivitas politik mereka adalah untuk kepentingan rakyat.
            Berdasarkan pertimbangan hati nuraninya, Sapari tidak mau terlibat dalam kegiatan politik partai yang berkuasa tersebut. Ia memilih berpolitik sesuai dengan hati nuraninya yakni dengan tetap mendalang tetapi menyampaikan keluhan dan penderitaan rakyat. Sebagai akibatnya, parpol berkuasa di tempat Sapari mendalang kalah dalam pemilihan lurah. Seperti sudah dapat diduga, dengan kekuasaan politiknya, partai politik yang berkuasa berhasil menyingkirkan Sapari dari daerah tempat ia bekerja.
            Sapari memang tersingkir dan kalah. Bahkan, pada akhirnya, ia tidak lebih sebagai seniman dalang kecil-kecilan di sebuah desa sambil menjadi penatah wayang. Namun, dalam hidup yang kalah dan tersingkir itu, Sapari merasa hidup menjadi manusia yang utuh dan apa adanya, bahkan sangat bahagia dalam menjalani hidup seperti itu.
Tentu tidak banyak orang berani hidup seperti yang dilakukan Sapari. Tapi begitulah resiko hidup berdasarkan pilihan hati nurani. Artinya, berangkat dari beberapa kasus dalam novel di atas, banyak orang hidup, atau masyarakat dan negara berjalan tidak berdasarkan hati nurani. Orang yang hidup dengan bertahan dalam hati nuraninya, ia akan kalah dan tersingkir. Ia menjadi orang yang asing dan tidak normal.
Jika hal itu direfleksikan dalam kehidupan nyata, maka semakin terbukti bahwa pada dasarnya kita hidup bukan berdasarkan hati nurani. Kita hidup dalam satu cengkraman kekuasaan; apakah itu tradisi, agama, politik kekuasaan, dan sebagainya yang pada dasarnya justru bertentangan dengan hati nurani.     
Sebagai akibat. banyak orang tidak bisa menuruti panggilan hati nuraninya sehingga seseorang hidup tidak menjadi dirinya. Seseorang terpaksa hidup sesuai dengan apa maunya kekuatan-kekuatan yang hidup dalam masyarakat, seperti patriarkisme, kemauan politik kekuasaan yang sedang berkuasa, kemauan pasar, dan sebagainya. Politik hati nurani sering bertentangan dengan kenyataan yang ada. * * *

Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar