Jumat, 20 Juli 2012

POSISI SOSIAL PEREMPUAN DALAM SASTRA


Mengkaji posisi sosial perempuan dalam dominasi dan budaya patriarki selalu penting karena hal tersebut masih merupakan masalah masyarakat Indonesia. Walaupun sebagian masyarakat Indonesia semakin menyadari bahwa posisi sosial perempuan-laki-laki itu seharusnya proporsional, tetapi dalam praktiknya jauh panggang dari api. Hal itu antara lain dikarenakan masih kuatnya budaya patriarkis yang bercokol dalam praktik-praktik kehidupan bermasyarakat. Kita tahu, mengubah tradisi atau budaya itu bukan pekerjaan mudah, membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Dalam rentang waktu yang lama, negara Indonesia dikuasai oleh rezim yang biasa disebut rezim Orde Baru. Selama masa kekuasaannya, negara melakukan berbagai proses legitimasi untuk menempatkan keberadaan perempuan sebagai atribut laki-laki. Waktu itu, kegiatan seperti PKK adalah contoh paling representatif ketika wanita tidak lebih sebagai bagian dari subjek dan aktivitas laki-laki.
Novel, sebagai cermin dan representasi masyarakat, dalam segala cara “merekam” persoalan posisi perempuan dalam masyarakat Indonesia. Pada tahun 1980-an, novel-novel yang muncul kebanyakan dari penulis Jawa, dan novel juga bercerita tentang masyarakat Jawa. Bangkitnya novel dengan nuansa warna lokal itu adalah ketika rezim Orde Baru demikian gagah berkuasa. Sejumlah novel melakukan kehati-hatian bahkan kompromi berhadapan dengan rezim Orde Baru dalam menembapatkan posisi sosial perempuan.
* * *
Dalam konteks itu, novel-novel Indonesia yang mengrepresentasikan masyarakat Jawa itu menghadirkan keberadaan perempuan secara berbeda-beda, dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda. Paling tidak terdapat 6 kecenderungan penokohan perempuan sebagai berikut.
Pertama, tokoh perempuan yang lemah (dalam pengertian sosial dan ekonomi), hidup dalam situasi yang tidak kondusif, dan gagal mencapai posisi sosial keperempuanannya. Contoh yang baik dalam kasus ini adalah Srintil dalam Trilogi Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Memang ada percobaan resistensi diam-diam terhadap tradisi bukak klambu atau pun terhadap peng-objek-an perempuan dalam hubungan seksual. Akan tetapi, sebagai wanita, hingga di akhir cerita, Srintil gagal menjadi wanita dengan kedudukan sosial yang baik, bahkan ia seperti hilang kesadaran (gila).
Kedua, tokoh wanita yang lemah, tetapi terdapat situasi kondusif sehingga ia mencoba berjuang mendapatkan posisi sosial keperempuannya agar lebih baik, walaupun tidak berhasil. Contoh yang baik adalah Lasi dalam Bekisar Merah (Ahmad Tohari). Karena menjadi istri simpanan Handarbeni, posisi ekonomi Lasi menguat. Akan tetapi, karena tidak mendapatkan pendidikan yang memadai, dalam posisi ekonomi yang membaik itu, Lasi tetap gagal mendapatkan posisi sosial yang layak. Bahkan ia terkatung-katung antara sebagai simpanan Handarbeni dan harapan menjadi istri Kanjat yang dosen di sebuah Perguruan Tinggi Negeri.
Ketiga, tokoh perempuan yang lemah secara sosial, dan dalam kondisi itu berjuang untuk mendapatkan posisi sosial yang baik dan berhasil. Contohnya adalah Siti Zaitun dalam Pasar karya Kuntowijoyo. Keuntungan Zaitun adalah dia bekerja di sebuah bank di desa. Sebagai orang yang (lebih) terdidik, masyarakat secara relatif menghargainya. Dia bisa berdebat dengan Pak Mantri, seorang sesepuh desa yang cukup dihormati. Walupun posisi sosial Zaitun jauh lebih baik dibanding Srintil atau Lasi, tetapi Zaitun tidak cukup sukses beradaptasi dengan kultur desa tempat ia bekerja di bank. Zaitun lebih cocok kerja di kota karena kota merupakan tempat demokrasi gender lebih hidup.
Keempat, tokoh wanita yang kuat (dalam arti memiliki status sosial dan ekonomi yang baik), tetapi ditempatkan dalam posisi sosial yang tidak kondusif bagi posisi sosial keperempuanannya. Contoh yang menonjol adalah Bu Bei dalam Canting karya Arwendo Atmowiloto dan Siti Ngaisah dalam Para Priyayi karya Umar Kayam. Bu Bei ulet, cerdas, dan wanita yang berhasil secara ekonomi. Sayang dia hidup dalam sebuah kultur (Jawa) yang perlu “takut” dan mengabdi kepada Suami (Pak Bei) yang bangsawan. Hal itu juga dilatarbelakangi bahwa bagaimanapun Bu Bei pada awalnya adalah wong cilik yang dinikahi oleh Pak Bei yang bangsawan.
Dalam konteks yang lebih lembut, hal yang lebih kurang sama terjadi pada Siti Ngaisah. Walaupun Siti Ngaisah dan Sastrodarsono dari status sosial yang lebih kurang sama, Siti Ngaisah dengan kecerdasan dan kecekatannya, hidup dalam tradisi-kulturnya selalu saja sebagai wanita yang ikut suami.
Kelima, tokoh  perempuan yang kuat, berjuang untuk mendapatkan posisi sosial yang baik dan berhasil. Contoh yang paling representatif adalah putri-putri Bu Bei dan Pak Bei dalam Canting. Ni adalah contoh yang menonjol. Yang menguntungkan Ni adalah dia lahir sebagai anak priyayi dengan kelas ekonomi yang baik. Ni sekolah hingga sarjana. Dalam berhadapan dengan kultur patriarki, Ni tanpa beban psikologis yang berarti sejajar dengan laki-laki (calon suaminya). Hal itu sekaligus memberi informasi bahwa wanita bisa mendapatkan posisi sosial yang baik mungkin karena keturunan, pendidikan, atau kelas ekonomi.
Keenam, tokoh perempuan yang tidak memiliki masalah dalam posisi sosialnya dalam dominasi budaya patriarki yang masih dominan. Hal itu terjadi dikarenakan mereka hidup sebagai masyarakat kelas menengah (atas), perkotaan, dan terdidik. Contoh yang memadai untuk situasi itu adalah Anna generasi cicit Sastrodarsono yang hidup di tahun 1980-an dan 1990-an di kota besar Jakarta, dalam Jalan Menikung karya Umar Kayam. 
* * *
Seperti telah disinggung, penghadiran karakter perempuan dalam beberapa novel di atas tentu ada tujuan atau “pesan” tersembunyi di dalamnnya. Novel di atas tidak dimaksudkan untuk membangun sebuah model kehidupan, tetapi lebih menempatkan kompleksitas posisi sosial perempuan sebagai masalah itu sendiri. 
            Hal yang ingin dibayangkan setelah membaca novel ini adalah bahwa masalah ketimpangan gender di Indonesia masih merupakan problem serius. Memang terdapat sejumlah progresi, seperti diperlihatkan generasi Ni dalam Canting atau generasi cicit Sastrodarsono dalam Jalan Menikung. Atau novel yang ditulis oleh generasi terkini seperti tampak pada posisi sosial tokoh perempuan dalam Saman dan Supernova. Akan tetapi, itu hanya bisa dikenai kepada mereka yang terlahir dari kelas menengah terdidik dan dalam masyarakat modern perkotaan. Tidak demikian halnya dengan perempuan yang hidup di desa, dari masyarakat bawah,  dan tidak mendapat pendidikan yang memadai. * * *

Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

Minggu, 22 April 2012

SASTRA SEBAGAI DUNIA MODEL


Oleh Aprinus Salam

Terdapat sejumlah kecenderungan bahwa dunia sastra modern Indonesia tidak berpretensi untuk membangun dunia model. Ada dua sebab mengapa hal itu terjadi. Pertama, dunia sastra Indonesia, khususnya novel, terlalu dekat dengan kenyataan. Dan kedua, dunia sastra Indonesia justru terlalu jauh dari kenyataan.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan dunia model adalah sebuah cerita yang dapat dijadikan model kehidupan (Bdk. Lotman, 1977). Berdasarkan dunia model itu orang yang membaca sastra mendapatkan banyak pelajaran tentang nilai-nilai luhur, moral yang mulia, proses dan cara-cara membangun kehidupan agar menjadi lebih canggih,  dan di atas semua itu, pelajaran membangun pribadi yang tangguh. Sastra sebagai dunia model adalah bagian dari strategi kebudayaan.
Di sini hanya dibicarakan beberapa novel saja. Novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan gagal membangun model karena terjebak dalam kebimbangan antara pilihan terhadap kultur dan kepribadian (karakter) Barat atau Timur. Siti Nurbaya walaupun dapat sedikit dijadikan model sebagai resistensi atas hegemoni patriarki, tetapi ia sangat tidak percaya diri dan akhirnya kalah berhadapan dengan kulturnya. Hanafi dalam Salah asuhan, walaupun terlihat seorang yang ulet dalam membangun karakter progresif, tetapi begitu menghamba kepada Corie. Di akhir hayatnya menyesali hidupnya.
Dalam novel Layar Terkembang, ada upaya untuk membangun dunia model seperti diperankan oleh Tuti. Tuti yang berpikiran progresif, mengisi waktunya dengan kesibukan berorganisasi, berpikir ke depan, dan cerdas, adalah satu model yang didambakan. Harapan dari novel ini adalah agar wacana tentang wanita yang moderat dapat disosialisasikan sehingga model Siti Nurbaya, segera dapat ditinggalkan. Masalahnya adalah bukan berarti Tuti lantas layak dijadikan model. Karakternya dan jalan hidupnya dianggap kering dan dingin. Ia tampil bak wanita super dan dalam beberapa hal kurang realistis.
Novel yang terbit secara “ilegal” pun, katakanlah Student Hijo, ternyata juga tidak sukses. Walau Hijo cerdas dan nasionalis (tetapi dalam kehidupan sehari-harinya seorang pemuda yang liberal), tetapi prilakunya yang seolah tidak punya pendirian, “manja”, tidak tegas, dan tidak setia, berimplikasi pada satu model karakter yang permisif, aji mumpung, sehingga novel itu kembali menjebak pembaca untuk tidak mengagungkan Hijo. Ideologi novel (dan Hijo) yang agak dekat dengan sosialisme juga terkesan artifisial karena penghargaan-penghargaan terhadap status kemanusiaan yang hierarkis masih cukup menonjol dalam novel tersebut.
Misal lain beberapa novel yang terbit pada masa Orde Baru. Dalam perspektif teori poskolonial, kedirian, keberadaan, dan karakter Minke dalam Bumi Manusia memang merupakan pesoalan menarik, terutama ketika dia sepenuhnya mendapat didikan Barat (Belanda). Akan tetapi, hal itu tidak menjadi persoalan dihadapkan dengan karakter yang dibangunnya, keteguhan dan kesetiaan pada hati nurani, rasionalitas dalam melihat persoalan tradisi dan budaya, serta upaya-upaya kerja keras dalam bekerja, dalam merealisasikan cita-cita.
Minke merupakan karakter contoh yang cukup menjanjikan yang dapat dijadikan model dalam membangun kebudayaan. Terlepas dari sikap sinisnya terhadap tradisi dan budayanya sendiri, tetapi argumen-argemen yang dibangun Minke merupakan pilihan yang rasional berhadapan dengan budaya yang menindas, budaya yang hanya mengekalkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak lagi kondusif dengan perubahan zaman.
Namun, selayaknya pula Bumi Manusia ditempatkan dalam porsi yang proporsional dalam kerangka strategi kebudayaan dan model kehidupan. Fanatisme ideologis terhadap satu aliran pemikiran tertentu, sayangnya, tidak dapat dijadikan pegangan utama dalam membimbing tujuan ke masa depan yang serba tidak pasti. Proses perjalanan suatu bangsa tidak dapat hanya berdasarkan sebuah pedoman ideologis, tat kala ideologi tersebut juga belum mampu memperlihatkan contoh sukses sebuah negara berdasarkan ideologi tersebut. Apa lagi jika persoalan itu ditempatkan dalam kerangka permasalahan di Indonesia, sebuah masyarakat yang sangat majemuk. Dinamika-dinamika internal masyarakat Indonesia lebih membutuhkan sebuah “kisah sukses” daripada sebuah pegangan ideologis.
Lain lagi dengan Sastrodarsono dalam Para Priyayi. Hidup prihatin dan sederhana, asketis, dan menjungjung tinggi rasa kemajuan, menjunjung tinggi kesetiaan terhadap budaya dan negara (pada waktu itu), mengabdi teguh terhadap pekerjaan sebagai guru, adalah model karakter lain yang mengharuskan untuk diwariskan kepada anak cucu. Terbukti, sebagai orang tua Sastrodarsono berhasil mendidik anaknya, setidaknya terjadi progresi yang cukup penting ketika anaknya beralih status dari wong cilik menjadi priyayi.
Namun, jika melihat keseluruhan cerita, yang masih terasa mengganjal adalah bahwa novel ini terlalu dekat dengan kenyataan, atau dalam bahasa sekarang “realis banget.” Sebagai akibatnya, novel tidak coba menegakkan satu karakter alternatif yang membanggakan dan memuaskan berbagai pihak. Lantip yang “kompromis” juga terkesan kurang tangguh.
Memang, perlu pula diingat bahwa menulis novel pada zaman Orde Baru berkuasa, kemampuan memberikan alternatif strategi budaya yang harus berhadapan dengan strategi budaya negara bukanlah persoalan mudah. Salah-salah strategi justru bisa dituduh subversif. Cara-cara aman yang ditempuh sebagian novel, misalnya “lari” kepada absurditas, seperti diperlihatkan sejumlah novel Putu Wijaya dan Iwan Simatupang, menjadikan novel sesuatu yang tidak terintegrasi dalam frame masyarakat. Cerita novel menjadi terlalu jauh dari kenyataan.
Dalam cara yang terlalu berhati-hati, karena berdiri di antara “kekhawatiran” dan sikap resistensi diperlihatkan novel Canting karya Atmowiloto dan Trilogi Dukuh Paruk, seperti Ronggeng Dukuh Paruk, Jantera Bianglala, dan Lintang Kemukus Dini Hari ataupun Bekisar Merah karya Ahmad Tohari. Pak Bei dalam Canting, atau Rasus dalam Trilogi Dukuh Paruk, dan Kanjat dalam Bekisar Merah adalah contoh karakter dalam kegagapan tersebut.
Novel Indonesia mutakhir, khususnya di era reformasi memang sangat beragam. Tokoh-tokoh dikarakterisasikan sebagai orang berjuang secara heroik berkaitan upaya-upaya pembersihan terhadap segala sesuatu yang berbau Orde Baru, tak pelak telah menjadi salah satu inspirasi penting. Novel-novel seperti Mantra Pejinak  Ular (2000) Orang-Orang Proyek (2004),  merupakan dua contoh di antaranya.
Mungkin yang cukup menonjol adalah karakter Abu Kasan Sapari dalam Mantra Pejinak Ular. Novel tersebut mengisahkan satu model heroisme (dan patriotisme) yang berjuang menegakkan kebenaran berdasarkan hati nurani. Dengan jujur dan bersih ia melihat berbagai persoalan, dengan segala rasa cemasnya, sempat diteror dalam berbagai cara oleh “orang-orang yang berkuasa”, tetapi ia memilih tatap menjadi orang biasa, menjadi Abu Kasan Sapari yang sederhana, yang pintar mendalang dan memantrai ular.
Tidak banyak orang seperti Abu Kasan Sapari. Walaupun di akhir cerita ia contoh orang kalah berhadapan dengan kekuatan rezim, tetapi kenangan terhadap karakter Abu Kasan Sapari memang tidak mudah hilang begitu saja. * * *

Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

Kamis, 19 April 2012

Sastra dan Masyarakat


KAJIAN SASTRA DALAM MASYARAKAT INDONESIA

Oleh Aprinus Salam

            Dalam sejumlah kesempatan, sering muncul pertanyaan apa hubungan kajian sastra dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia? Pertanyaan tersebut tentu perlu mendapat tanggapan serius, bukan saja berkaitan dengan relevansi kajian sastra terhadap masyarakat, melainkan pula terhadap orientasi dan masa depan ilmu dan kajian sastra itu sendiri.            
Tulisan ini akan membicarakan mengapa pertanyaan tersebut muncul dan kemungkinan solusi dalam mengembangkan kajian sastra sehingga kajian sastra lebih dirasakan “kedekatannya” dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia. Tulisan ini membicarakan persoalan tersebut dalam koridor perkembangan kajian sastra di Indonesia dalam perspektif masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
* * *
            Tidak dapat dipungkiri bahwa hingga hari ini masih sering muncul pertanyaan apa yang dapat dipelajari dari sebuah puisi, cerpen, atau novel. Latar belakang pertanyaan tersebut muncul karena masih terpeliharanya asumsi dan persepsi bahwa mempelajari puisi seolah mempelajari keindahan olah kata. Atau mempelajari novel seolah mempelajari sebuah cerita fiktif, cerita yang mengada-ada, yang hampir tidak berhubungan dengan fakta-fakta dalam realitas kehidupan. Itu pula sebabnya, kemudian muncul pertanyaan, setelah mempelajari sastra, atau lulusan sarjana sastra itu bisa bekerja di mana? Atau instansi apa yang dapat menerima sarjana yang lulus karena mempelajari puisi, cerpen, atau novel.
Di Indonesia, pertanyaan tersebut tentu tidak sepenuhnya salah. Hingga hari ini, pelajaran dan pengertian sastra (terutama di SMP dan SMA), masih bergerak dalam penapisan struktural. Bahkan beberapa kurikulum di perguruan tinggi pun masih “mempertahankan” paradigma itu sehingga persoalan sastra seolah bergerak hanya dalam koridor tema, penokohan, latar, alur, sudut pandang penceritaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Pengetahuan itu dipelihara, disimpan, dan diteruskan sehingga para pelajar (dan masyarakat) masih “berkeyakinan” bahwa persoalan sastra tidak lebih dari itu. Yang mengherankan, sejumlah buku (teori) yang belakangan terbit tentang kesusastraan masih meneruskan tradisi itu.
Memang, penapisan struktural penting karena bagaimanapun teori itu menjadi dasar bagi pengetahuan kesusastraan. Masalahnya, teori-teori struktural justru mulai tidak relevan karena tidak menjelaskan sejarah, konteks, dan sosiologi kehadiran sebuah karya sastra. Teori struktural juga tidak meletakkan substansi karya sastra sebagai sebuah karya yang mampu mengemas persoalan manusia dan masyarakat secara esensial. Hal yang dimaksud sebagai sesuatu yang esensial adalah bahwa berbagai persoalan faktual yang dihadapi manusia dikemas dalam suatu “abstraksi universal” sehingga “fakta cerita” (fiksi) menjadi sesuatu yang mampu menelanjangi hakikat persoalan manusia.
Belakangan ini, mengingat sejumlah persoalan yang semakin runyam, relevansi dan kontribusi kajian sastra semakin dipertanyakan dalam ikut memikirkan masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia. Masalah-masalah itu antara lain, seperti kita sudah sangat tahu, masalah kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan.  Dalam perspektif yang lebih spesifik terdapat juga masalah korupsi, ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, konflik dan kekerasan, kesemrawutan sosial, “keuangan yang maha kuasa”, dan sebagainya.
Memang, pertanyaan itu terkesan tidak adil ketika sastra, pengetahuan yang selalu dianaktirikan, harus menanggung beban masalah sebesar dan seberat itu. Akan tetapi, harus ada sikap-sikap yang bersifat ideologis dan berpihak terhadap masalah bangsa dan negara, ketika ilmu-ilmu lain, seperti ekonomi, politik, atau teknologi, justru terlibat dalam persoalan (dan penyebab) kemiskinan, kebodohan, atau bahkan ketidakadilan.
* * *
Persoalannya adalah bagaimana sesuatu yang esensial tersebut dikaitkan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Hal ini mau tidak mau harus dimulai kembali dalam merumuskan “definisi” dan keberadaan sastra. Artinya, definisi dan keberadaan sastra yang selama ini dipahami dalam paradigma keterbatasan struktural, selayaknya diperbarui, dikontektualisasi, sesuai dengan pemahaman-pemahaman baru yang terus berkembang.
 Dalam hal itu, hal yang perlu dipahami adalah bahwa karya sastra merupakan “hasil seleksi” dari berbagai peristiwa dan kejadian, disaring secara substansial dari berbagai motif fakta kemanusiaan, dipikirkan dengan jeli dan rumit, dan dikemas dalam satu jaringan tekstual yang berfungsi sebagai penanda. Hasilnya adalah sebuah teks yang dapat dijadikan “sumber informasi” dalam memahami berbagai persoalan manusia dan suatu masyarakat.  
Kunci utama persoalan terletak pada adanya pengakuan bahwa pada akhirnya hal-hal yang perlu dipelajari dan ditafsirkan, baik dalam ilmu politik, hukum, sosial, ekonomi, agama, budaya, bahkan teknologi adalah kata, ungkapan, pernyataan, atau cerita. Dalam kasus-kasus politik atau agama, memang terdapat fakta-fakta di tingkat kenyataan, seperti kasus-kasus kekerasan atau pergeseran-pergeseran kecenderungan/fenomena kehidupan sosial.
Ketika kita mempelajari kasus kekerasan atau berbagai perubahan kecenderungan tersebut, yang kita pelajari adalah kata, ungkapan, cerita, atau tegasnya teks.  Dalam arti, berbagai kejadian atau peristiwa itu pada akhirnya direkam (dalam berbagai cara), disampaikan, didiskusikan, dianalisis, ditafsirkan, dicarikan solusinya, berdasarkan hasil laporan, cerita, atau teks.
Kasus mutakhir yang membuat heboh, misalnya, kasus SKB tiga menteri berkaitan dengan posisi atau kedudukan Ahmadiyah. Hal yang membuat heboh adalah teks keputusan itu sendiri, yang diramaikan adalah teks. Sejumlah peneliti dalam mendapatkan informasi juga berdasarkan wawancara (cerita informan) atau berdasarkan sejumlah tulisan (teks). Lantas, apa bedanya dengan karya sastra?
Hal yang membedakan adalah bahwa karya sastra ditulis dan dikemas dalam satu abstraksi peristiwa/kejadian sehingga karya sastra menjadi sesuatu yang, seolah-olah, tidak berhubungan dengan kenyataan. Padahal, karya sastra justru mengangkat peristiwa atau kejadian tersebut secara berbeda, secara simbolik,  dan dalam cara-cara tertentu justru menjadi sebuah teks yang informatif karena berbagai kejadian disajikan dalam sebuah cerita yang inspiratif dalam memahami peristiwa atau kejadian yang terjadi di masyarakat.
Dalam paradigma itulah, kajian sastra selayaknya dapat dikembangkan menjadi salah satu sumber dalam memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi di masyarakat. Novel Proyek karya Ahmad Tohari, misalnya, dapat dijadikan salah satu bahan bagaimana menjelaskan alur korupsi, bagaimana karakter-karakter yang terlibat, sebab-sebab terjadinya korupsi, dan bagaimana korupsi menjadi suatu budaya dalam masyarakat Indonesia.
Novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo dapat dijadikan informasi dan inspirasi bagaimana memahami jalannya politik di Indonesia. Bahkan juga dapat dipakai bagaimana menggerakkan masyarakat untuk lebih sadar berhadapan dengan lingkungan hidup. Novel Umar Kayam Para Priyayi dan Jalan Menikung dapat dijadikan bahan yang sangat penting dalam memahami persoalan perubahan sosial Indonesia.
Tentu banyak karya sastra lain, termasuk cerpen dan puisi, yang dapat dijadikan bahan atau sumber informasi, sumber inspirasi, dalam memahami persoalan kriminalitas, persoalan demokrasi, ketidakadilan, dan berbagai konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia. Berbagai kajian itu selayaknya diapropresiasi dengan kejadian di tingkat kenyataan sehingga karya sastra mendapat posisi yang lebih kontekstual dalam persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia.
Saya mengira, mengingat berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia, kajian (sastra) yang tidak mencoba membantu menjelaskan, atau memberi pemahaman baru, atau yang tidak mencoba membantu mencarikan solusi dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi Indonesia, bangsa yang hampir tidak pernah keluar dari rundung kemalangan dan kemiskinan, kajian itu secara relatif hampir tidak berguna.

Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

SASTRA DAN POLITIK HATI NURANI


Aprinus Salam

Belakangan ini semakin santer pemakaian istilah ataupun anjuran agar kita semakin teguh berpegang pada hati nurani. Misalnya, ajakan-ajakan pilihlah pemimpin sesuai dengan hati nurani; Kita harus berani bersikap sesuai dengan panggilan hati nurani; Selayaknya kita bekerja sesuai dengan pilihan hati nurani kita; Berpolitiklah sesuai dengan hati nurani, dan sebagainya.
Masalahnya adalah apakah itu hati nurani dan bagaimana kesusastraan “mengajarkan” kita bertindak, berprilaku, atau hidup sesuai dengan panggilan hati nurani. Bagaimanakan novel menceritakan politik berdasarkan hati nurani? Tulisan ini dimulai dari kasus dalam novel dan kemudian mencoba merumuskan apa itu yang dimaksud dengan politik hati nurani.
* * *
Tidak banyak novel Indonesia yang secara eksplisit mencoba mengusung masalah hati nurani sebagai bagian dari motif cerita. Atau sebaliknya, bukan maksud novel menghilangkan hati nurani, tetapi karena situasi dominan dan hegemonik tradisionalisme, pragmatisme, rasionalisme, ekonomisme, dan sebagainya, hati nurani tidak pernah diperhitungkan dalam berbagai keputusan, tindakan, dan perilaku apapun.
Hal itu dapat dirunut dari sejumlah novel Indonesia. Dalam Siti Nurbaya, misalnya, jika Siti Nurbaya menuruti panggilan hati nuraninya, maka ia tidak perlu menjadi istri muda Datuk Maringgih. Memang Nurbaya melawan sekuat hatinya. Akan tetapi, dalam cengkraman budaya Minang dan kekuasaan Datuk Maringgih, Nurbaya terpaksa tidak berpihak ke hati nuraninya. Rasa kasihan kepada orang tuanya yang akan dipenjara karena terikat hutang kepada Datuk Maringgih membuat Nurbaya menyerahkan dirinya kepada Maringgih untuk diperistri. Nurbaya memilih tidak mengikuti hati nuraninya dengan berbagai pertimbangan, atau ketakutan terhadap tradisi dan kekuasaan politik-ekonomi.
Contoh lain, misalnya dalam Belenggu. Kartono, walaupun hidup terhormat sebagai dokter (yang pada waktu itu masih sangat jarang), memiliki istri cantik dan modern (untuk ukuran pada waktu itu), tetapi Kartono nyaris tidak pernah bahagia menjalani posisi hidup seperti itu.
Hal itu dikerenakan Kartono tidak hidup dalam posisinya sesuai dengan panggilan hati nuraninya. Jika ia ingin menjalani sesuai dengan panggilan hati nuraninya, terpaksa hal itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Ia sebetulnya justru ingin menjadi seniman daripada menjadi dokter. Tetapi, garis hidup “memaksanya” lebih sebagai dokter daripada seniman yang hidup “lebih bebas”. Ia terbelenggu dan hidup dalam kepalsuan.
Masalah hati nurani, walaupun secara implisit, dapat diketahui dari  trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Dalam hidupnya Srintil tidak pernah cukup nyaman karena tertekan. Hidupnya telah diatur oleh tradisi masyarakat Paruk untuk menjadi ronggeng dengan segala prosedur tradisi yang harus dilewatinya.
Satu-satunya kesempatan ia dapat memenuhi panggilan hati nuraninya adalah ia nekat menyerahkan keperawanannya kepada Rasus. Ia memilih memberikan keperawanannya kepada Rasus yang ia cintai daripada kepada pembeli tertinggi pada malam bukak kelambu. Pilihan itu selalu dikenangnya sebagai kenangan yang membuatnya puas dan bahagia, karena hanya dalam kesempatan itu dia bisa menjadi dirinya.
Posisi hati nurani di atas tidak lebih untuk keperluan-keperluan yang bersifat pribadi. Yakni ketika seseorang berjuang mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya secara individual, dan dalam persoalan tersebut seseorang memilih mengatasi persoalan tersebut berdasarkan panggilan hati nurani atau tidak.
* * *
Salah satu novel yang secara eksplisit memperjuangkan pentingnya hidup berdasarkan hati nurani adalah novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo. Diceritakan dalam novel tersebut bagaimana Abu Kasan Sapari, yang pintar mendalang dan menjinakkan ular itu diperebutkan oleh partai politik agar menjadi salah satu “juru bicara” partai yang berkuasa (Partai Randu). Jika Sapari bersedia mengkampanyekan partai yang berkuasa itu dalam berdalang, maka ia akan mendapatkan kompensasi yang besar atau posisi politik yang baik.
Sapari bukan orang bodoh seperti domba yang hidupnya bisa diatur sedemikian rupa oleh partai atau pemerintah yang berkuasa. Sapari tahu bahwa partai berkuasa tersebut bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Berdasarkan refleksi hati dan perasaannya (hati nurani), ia berkesimpulan bahwa orang-orang partai tersebut tidak lebih sekelompok oportunis, sekelompok orang yang rakus harta dan kekuasaan, tetapi munafik karena selalu mengatakan bahwa aktivitas politik mereka adalah untuk kepentingan rakyat.
            Berdasarkan pertimbangan hati nuraninya, Sapari tidak mau terlibat dalam kegiatan politik partai yang berkuasa tersebut. Ia memilih berpolitik sesuai dengan hati nuraninya yakni dengan tetap mendalang tetapi menyampaikan keluhan dan penderitaan rakyat. Sebagai akibatnya, parpol berkuasa di tempat Sapari mendalang kalah dalam pemilihan lurah. Seperti sudah dapat diduga, dengan kekuasaan politiknya, partai politik yang berkuasa berhasil menyingkirkan Sapari dari daerah tempat ia bekerja.
            Sapari memang tersingkir dan kalah. Bahkan, pada akhirnya, ia tidak lebih sebagai seniman dalang kecil-kecilan di sebuah desa sambil menjadi penatah wayang. Namun, dalam hidup yang kalah dan tersingkir itu, Sapari merasa hidup menjadi manusia yang utuh dan apa adanya, bahkan sangat bahagia dalam menjalani hidup seperti itu.
Tentu tidak banyak orang berani hidup seperti yang dilakukan Sapari. Tapi begitulah resiko hidup berdasarkan pilihan hati nurani. Artinya, berangkat dari beberapa kasus dalam novel di atas, banyak orang hidup, atau masyarakat dan negara berjalan tidak berdasarkan hati nurani. Orang yang hidup dengan bertahan dalam hati nuraninya, ia akan kalah dan tersingkir. Ia menjadi orang yang asing dan tidak normal.
Jika hal itu direfleksikan dalam kehidupan nyata, maka semakin terbukti bahwa pada dasarnya kita hidup bukan berdasarkan hati nurani. Kita hidup dalam satu cengkraman kekuasaan; apakah itu tradisi, agama, politik kekuasaan, dan sebagainya yang pada dasarnya justru bertentangan dengan hati nurani.     
Sebagai akibat. banyak orang tidak bisa menuruti panggilan hati nuraninya sehingga seseorang hidup tidak menjadi dirinya. Seseorang terpaksa hidup sesuai dengan apa maunya kekuatan-kekuatan yang hidup dalam masyarakat, seperti patriarkisme, kemauan politik kekuasaan yang sedang berkuasa, kemauan pasar, dan sebagainya. Politik hati nurani sering bertentangan dengan kenyataan yang ada. * * *

Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

SASTRA DAN PENAFSIRAN IDEOLOGIS


Aprinus Salam

Salah satu fenomena umum kajian-kajian sastra adalah bahwa sastra dianalisis/dikaji, dalam perspektif teori tertentu, tetapi “tidak dibingkai” oleh ideologi para pengkajinya. Kasarnya, walaupun tidak cukup tepat, para pengkaji sastra secara umum tidak mengedepankan ideologi jika meneliti karya sastra. Kenapa hal itu terjadi, dan mengapa kajian kesusastraan perlu dibingkai oleh ideologi?
Dalam rentang waktu yang lama, kajian-kajian keilmuan, baik sosial ataupun humaniora, “terbelenggu” oleh objektivitas dan netralitas keilmuan. Sesuatu dianggap ilmiah jika kajian tersebut mampu menjauhkan subjektivitas dari “ideologi pengkaji”, atau bersikap netral terhadap berbagai kepentingan. Sebuah kajian selayaknya “demi” keilmuan itu sendiri, tidak karena ideologi atau kepentingan tertentu. Ilmu tidak boleh dimanipulasi oleh keperluan-keperluan pragmatis, apalagi karena tujuan-tujuan politik dan ekonomi.
Kajian sastra juga tidak sepenuhnya bebas dari belenggu objektivitas dan netralitas keilmuan tersebut. Seperti diketahui, sejumlah teori sastra lahir dalam semangat filsafat positivisme, filosofi yang mendukung objektivitas dan netralitas keilmuan. Sebagai  misal, teori struktural. Teori struktural dalam kadar tertentu memang tidak berpretensi untuk membuka peluang subjektif pengkaji dalam menganalisis karya sastra.
Sebagai akibatnya, kajian sastra menjadi sesuatu yang tidak kontekstual, tidak menyejarah, dan nyaris tidak berhubungan dengan persoalan masyarakat tempat karya sastra tersebut hadir dan dibicarakan. Waktu itu para pengkaji tidak memiliki pilihan teori yang beragam dalam mempelajari kesusastraan. Implikasinya adalah bahwa karya sastra dan kajiannya diabaikan dan secara relatif tidak berguna bagi masyarakat.
            Tidak berguna dalam konteks apa? Yakni tidak berguna dalam konteks ketika Indonesia menghadapi masalah ketidakadilan, kebodohan, kemiskinan, kriminalitas, indeks kemampuan SDM yang demikian rendah, sementara kajian sastra hampir tidak berorientasi untuk memberikan kontribusi pemikiran dalam mengatasi atau ikut menjelaskan persoalan tersebut. Bahkan masih terdapat sejumlah kajian yang masih mengurus gaya bahasa, alur cerita, tanpa peduli apa yang terjadi di lingkungan sosialnya.
            Dalam hal itu, kajian itu ingin saya katakan sebagai sesuatu yang tidak bersifat ideologis, bahkan  tidak cukup bermoral. Amin Rais dalam bukunya  Agenda-Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia (2008) mengatakan bahwa netralitas keilmuan dan peneliti dengan membiarkan berbagai ketidakberesan di lingkungannya, adalah sama dengan tindakan kriminal itu sendiri. Dalam posisi inilah seharusnya para pengkaji sastra perlu membingkai kajiannya dalam istilah yang sekarang populer, mari bersama-sama “Selamatkan Indonesia!”
* * *
Teori-teori sastra terus berkembang. Saat ini, persoalan objektivitas dan netralitas keilmuan mulai dipertanyakan bahkan sudah tidak dipercaya. Tidak ada ilmu yang lahir bebas dari konteks, ataupun subjektivitas, bahkan ideologi. Salah satu yang signifikan yang membongkar objektivitas dan netralitas itu adalah teori postrukturalisme dan posmodernisme. Paradigma yang dikembangkan adalah dengan mengakui subjektivitas, ideologi, tujuan, relevansi, dan kepentingan kajian.
Masalahnya adalah bahwa ilmu-ilmu dan teori sastra sepenuhnya berkembang di Barat, dan diadopsi secara telanjang dan apa adanya oleh pengkaji Indonesia. Padahal lahirnya sebuah teori, berangkat dari satu tujuan dan kepentingan tertentu yang kontekstual dengan tempat teori tersebut dilahirkan. Artinya, belum tentu teori-teori tersebut jika dipraktikkan di Indonesia  menjadi cukup relevan.
Hal itu memang masalah lama dan klasik. Akan tetapi, bukan berarti tidak layak dibicarakan ulang jika hal itu masih terjadi hingga kini. Dalam hal ini yang ingin dikatakan adalah bukan teori tersebut tidak layak diadopsi, tetapi perlu ada penyesuaian-penyesuaian sehingga praktik penggunaan teori tersebut menjadi relevan dan bermanfaat. Hal itu bukan berarti sejalan dengan filsafat pragmatisme, tetapi memang terdapat kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu di Indonesia yang secara sinergis harus diatasi bersama. 
Berikut akan diberikan beberapa kasus kajian berdasarkan teori dan metode tertentu, yakni teori semiotik, feminisme, dan poskolonial. Kasus yang dibicarakan adalah bagaimana memosisikan konsep-konsep tersebut sebagai teori analisis atau sebagai metode. Persoalan pemosisian ini berkaitan dengan  seberapa signifikan ideologi peneliti “dapat” ikut campur dalam membingkai kajian.
Misalnya semiotik. Ada kerancuan dalam memahami apakah semiotik itu teori atau metode. Menurut hemat saya semiotik itu adalah teori metode, yakni satu cara kerja dalam memahami, sekaligus pengakuan, bahwa setiap teks itu merupakan tanda, dan setiap tanda memberikan tanda berikutnya. Hubungan antara penanda dan petanda itu bersifat arbitrer. Hal yang perlu dipahami adalah tidak ada ideologi dalam konsep dan metode tersebut. Dalam posisi inilah pengkaji dapat membingkai hubungan-hubungan semiotis yang arbitrer tersebut secara ideologis, sesuai dengan kepentingan dan tujuan pengkaji, dan kontekstual dengan masalah yang dihadapi masyarakat.
Misal lain adalah feminisme. Feminisme adalah salah satu teori yang berkembang dalam kajian sastra sebagai upaya “membongkar” ketimpangan relasi (kuasa) gender dalam karya sastra. Sebagai teori, feminisme sekaligus sebuah teori yang memiliki ideologi. Masalahnya adalah, kadang-kadang, pengkaji sastra tidak menempatkan ideologi feminisme yang berkembang di Barat tersebut dalam memahami masalah gender di Indonesia secara kontekstual. Pengkaji tidak membingkai teori feminisme yang ideologis tersebut secara ideologis. Sebagai akibatnya, kajian sering tidak membumi, lemah relevansinya, berhadapan dengan persoalan relasi posisi sosial dan kultural perempuan dan politik gender di Indonesia.
Sebagai contoh lain adalah kajian poskolonial yang akhir-akhir ini juga cukup banyak dipraktikkan di Indonesia. Dalam konsepnya, teori ini hampir sama dengan feminisme, dalam pengertian bahwa teori ini sekaligus memiliki ideologi tertentu. Secara khas kajian ini mempersoalkan persoalan-persoalan praktik berbahasa dan problem identitas di negara-negara bekas jajahan (negara-negara koloni).
Di Indonesia misalnya, bagaimana problem praktik berbahasa negara penjajah, di negara bekas jajahan, berhadapan dan dipraktikkan dengan bahasa nasional bahkan bahasa-bahasa lokal. Di samping itu, bagaimana pula persoalan identitas, dalam kaitannya dengan nasionalitas, dalam era modernisasi global dan kapitalisme dalam masyarakat Indonesia setelah tidak dijajah. Bagaimana masalah pertarungan pemaknaan yang berkembang.
Masalahnya adalah apakah masalah bahasa dan identitas memang demikian gawat di Indonesia? Misalnya karena persoalan bahasa dan identitas bisa menyebabkan munculnya konflik dan kekerasan. Atau sebaliknya, terjadinya krisis dan degradasi nasionalitas dalam diri bangsa Indonesia. Kalau demikian halnya, maka teori poskolonial menjadi sangat relevan untuk diadopsi, tetapi selayaknya dalam bingkai ideologi yang kontekstual dengan persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Kajian poskolonial selayaknya membantu dalam memahami, memberi pengertian, dan sekaligus “mencarikan solusi” terhadap problem yang secara faktual dihadapi oleh masyarakat.
Dalam persoalan tersebut bingkai ideologi pengkaji perlu terlibat dalam mengarahkan dan mencari persoalan (masalah) yang berkembang di sastra berkorelasi langsung dengan masalah di tingkat kenyataan. Dalam bingkai itu, pengkaji perlu memberikan pemahaman dan pemikiran bagaimana sastra merepresentasikan persoalan yang menjadi masalah bersama. * * *

Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.